KH Hamim Djazuli © KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri), Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
Ayah Gus Miek KH.Achmad Djazuli Usman
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) 
Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan 
segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. 
Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan 
dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an 
alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek selain dikenal sebagai seorang 
ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh, beliau lebih 
menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti 
diskotik, club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang 
tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir 
tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club 
malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran 
jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang 
sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk 
jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran jalan pintas.
Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek 
pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang 
asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil
 sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu 
dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa
 sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras 
yang diharamkan oleh Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak 
meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!” hal ini 
membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum
 minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara 
“sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya 
kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua 
terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang
 dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu 
juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan 
meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah 
salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus 
Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, 
beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering
 menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak 
beruntung di akhirat kelak.
Ketika beliau berdakwah di Semarang 
tepatnya di NIAC di Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian 
bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus 
Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap 
permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang 
sangat besar. NIAC pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi 
neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi dan penikmat maksiat.
Satu contoh lagi ketika Gus Miek 
berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek 
masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu
 Gus Miek langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk 
pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya,
 perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap
 meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut 
mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah 
kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak 
KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan 
yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek 
tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik 
apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang 
saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan 
tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan 
maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau 
tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. 
Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku 
menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa 
aku sedang menagis“ jawab Gus Miek
Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus 
miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi
 mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak 
sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal 
Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
Gus Miek bertemu KH. Mas’ud (Mbah Ud Pagerwojo Sidoarjo)
Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, 
Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud 
adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia
 sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah 
Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, 
yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus 
besannya.
Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia
 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang 
saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang 
berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus 
Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk 
keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena 
merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud kemudian 
menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek 
dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan 
Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata 
menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.
“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus 
Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH. Hamid 
menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke
 rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. 
Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan 
Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.
Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata 
Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu 
duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang 
runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek 
kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember 
bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik
 Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. 
Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek 
mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah 
masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i tengah bersiap-siap 
menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).
Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela, 
“Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun 
tidak berani melanjudkan.
Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.
“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.
“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman 
ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. 
Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan 
ke arah Gus Miek.
Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud 
terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. 
Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah, 
Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan 
lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti 
orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan 
kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, 
Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah
 Ud mengamini sambil menangis.
Di sepanjang perjalanan menuju ruamah 
Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya 
penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud 
Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). 
Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada 
seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan 
silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan, 
bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di 
Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid 
Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir 
sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.
Kisah Gus Miek dan KH. Achmad Siddiq
Selain cerita sebagaimana yang telah 
diuraikan di muka dalam pembahasan Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid 
Pasuruan, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan KH. Ahmad Siddiq. 
KH. Ahmad Siddiq, yang kebetulan istrinya dari Tulungagung, bila berada 
di Tulungagung, dalam pidato-pidatonya juga selalu mnyerang Gus Miek 
sebagai seorang kiai yang kebiasaannya tidak sesuai dengan syari’at. 
Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat 
dia sowan kepada Gus Ud, Pagerwojo, Sidoarjo, di mana secara tersirat 
Gus Ud menunjukkan bahwa Gus Miek adalah yang sulit diterima nalar 
biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq sendiri oleh Gus Ud justru disuruh 
meminta doa Al-Fatehah kepada Gus Miek.
Bila mendengar semua itu, Gus Miek hanya tersenyum dan berkomentar: 
“Kiai ini berani. Sungguh kiai ini pemberani,” sambil tersenyum dan 
mengacungkan jempol. Kepada Amar Mujib (adik ipar KH. Ahmad Siddiq) Gus 
Miek berpesan: “Mar, apakah kamu hobi pidato? Kamu jangan suka pidato! 
Sebab, orang itu bila pidato, kalau hakikat-nya tidak kuat, akan 
berbahaya. Orang itu yang baik di dalam-nya, bukan luar-nya.”
KH. Ahmad Siddiq saat berada di 
Tulungagung pernah bertanya kepada: “Amar, jawablah dengan jujur, 
sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau sembunyikan: benarkah Gus Miek
 itu bila menghadiri undangan perkawinan, selalu langsung menuju tempat 
kaum perempuan dan mengambil tempat berbaur bersama mereka?”
Amar yang sejak pertama sudah tahu bahwa 
KH. Ahmad Siddiq sangat anti dengan Gus Miek merasa terpanggil untuk 
membela Gus Miek.“Benar,” jawab Amar.
“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
”Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya!” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Semua pendapat Mas Ahmad benar. Hanya 
saja Gus Miek pernah berkata kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah 
keluarga, kalau tidak bisa masuk dari pintu depan maka berusahalah masuk
 dari pintu belakang. Kalau tidak bisa kepada suaminya maka berdakwahlah
 kepada istrinya. Sehingga bila suaminya lalai menjalankan shalat karena
 malas atau kesibukan kerja, istri bisa mengingatkannya. Sebab yang 
paling dekat dengan suaminya dalam ibadah dan rumah tangga adalah istri.
 Bukan kiai, “jawab Amar.
KH. Ahmad Siddiq hanya diam merenungkan 
jawaban Amar Mujib. Amar Mujib pun diam di samping kakak iparnya. Sudah 
menjadi rahasia umum di kalangan pengikut Gus Miek bahwa setiap santri 
yang dekat dengan Gus Miek, seolah merasakan suatu kekuatan dan 
keberanian yang luar biasa dalam menghadapi siapa saja, termasuk tokoh 
besar.
Setiap berada di Tulungagung, KH. Ahmad 
Siddiq mencoba mencari tahu siapakah Gus Miek yang sebenarnya dari adik 
iparnya. Ini tentu saja sebuah proses pergolakan batin yang panjang dan 
berat bagi KH. Ahmad Siddiq. Di samping karena dahulunya dia sudah 
dikenal luas sangat memusuhi Gus Miek, juga karena harus merombak 
persepsinya tentang sosok wali yang selama ini dipahaminya dan 
diyakininya dari kitab ketika harus berhadapan dengan sosok kewalian Gus
 Miek.
Berikutnya, mulai timbul kegaluan di hati
 KH. Ahmad Siddiq. Hal ini terjadi karena Gus Miek membantu 
menyelesaikan persoalan anaknya, meski bukan karena keinginannya. 
Terlebih lagi dengan adanya pernyataan-pernyataan KH. Hamid Pasuruan 
(yang masih saudaranya) yang sangat menghormati dan mendukung Gus Miek, 
sebagaimana yang telah diceritakan di muka.
Setelah beberapa hari berlalu, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib.
“Amar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.
“Untuk apa bertemu Gus Miek?” Tanya Amar 
curiga karena dia tidak ingin terjadi permasalahan antara KH. Ahamad 
Siddiq sebagai kakak iparnya dengan Gus Miek sebagai gurunya.
“Aku hanya ingin bertanya apakah yang 
telah aku pahami dari kitab-kitab dan aku jalankan selama ini sudah 
benar,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Beberapa hari kemudian, Amar bertemu Gus 
Miek dan menyampaikan permintaan KH. Ahmad Siddiq. Gus Miek hanya diam 
dan tidak memberi jawaban.
KH. Ahmad Siddiq yang belum mendapat 
kepastian, kembali meminta bantuan Amar Mujib untuk dipertemukan dengan 
Gus Miek. Pada masa itu, Gus Miek memang sulit ditemui dan selalu 
berpindah-pindah sehingga hanya orang-orang terdekat seperti Amar Mujib 
saja yang bisa menemui Gus Miek. Amar pun melaporkan hal itu kepada Gus 
Miek. Akan tetapi Gus Miek masih tetap belum memberikan jawaban. Baru 
pada permintaan yang ketiga, Gus Miek menyanggupi. Kebetulan Gus Miek 
saat itu berada di rumah Mulyadi, Jember. Tetapi Gus Miek mengancam 
Amar, bila undangan itu hanya untuk memperolok dirinya, Gus Miek akan 
membunuh Amar.
Hal ini terjadi karena pada saat itu KH. 
Ahmad Siddiq telah mulai membuka diri untuk mendukung perjuangan Gus 
Miek dan dengan menimbang potensi KH. Ahmad Siddiq sebagai orang penting
 dalam jajaran NU wilayah Jawa Timur. Apalagi, pada masa itu, KH. Mahrus
 Ali sebagai anggota PBNU, menentang keberadaan Gus Miek dan 
perjuangannya. KH. Mahrus Ali adalah ulama yang sangat kuat (keras) 
dalam memegang syariat dan kitab kuning, sedangkan Gus Miek dianggab 
menyimpang dari ketentuan kitab-kitab dan syariat oleh KH. Mahrus Ali. 
Belum lagi pembelaan Gus Miek kepada perjuangan Wahidiyah di masa lalu. 
Penentangan KH. Mahrus Ali terhadap Wahidiyah sedemikian kerasnya, 
bahkan ia membuat larangan tertulis bagi seluruh santri lirboyo agar tak
 ikut mengamalkan Wahidiyah. Larangan itu masih tetap dijadikan pegangan
 sampai sekarang.
Sebenarnya, ketidakcocokan itu bukan 
hanya muncul dari KH. Mahrus Ali saja. Banyak juga ulama lain yang sama 
dengan pemikiran KH. Mahrus Ali. Bahkan keluarga ploso yang awalnya 
mendukung Gus Miek, pada akhirnya memisahkan diri dan melarang sebagian 
jama’ahnya mengamalkan Wahidiyah.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Keterbukaan KH. Ahmad Siddiq ini membuat 
Gus Miek tidak menyia-nyiakan kesempatan sehingga Gus Miek memfokuskan 
konsentrasinya untuk berdakwah di Jember dan sekitarnya. Ada sebuah 
rencana besar yang disusun Gus Miek pada KH. Ahmad Siddiq untuk 
mendukung kesuksesan dakwahnya sehubungan dengan keluarganya dan NU 
karena Gus Miek sama sekali tidak mungkin untuk bermain di dalam NU 
disebabkan ia bukan bagian dari jajaran pengurus NU. Gus Miek juga 
memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk pikuknya para ulama NU, 
terutama dalam hal politik.
Gus Miek diantar oleh Amar, akhirnya 
menemui KH. Ahmad Siddiq. Setelah berbasa-basi keduanya terlibat 
pembicaraan empat mata yang sangat serius selama hamper tujuh jam. 
Sementara Amar menunggu di luar karena sungkan dengan KH. Ahmad Siddiq; 
walaupun kakak iparnya, tetapi KH. Ahmad Siddiq adalah ulama besar. Di 
luar kamar, Amar gelisah menunggu, hatinya berdebar-debar penuh 
kecemasan terhadap apa yang akan terjadi antara Gus Miek dengan KH. 
Ahmad Siddiq. Kemudian, Gus Miek keluar dari ruangan dengan bintik-bintk
 keringat di wajahnya, lalu mengajak Amar kembali ke rumah Mulyadi.
Selang beberapa bulan, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib di Tulungagung.
“Mar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.
“Mau apalagi, Mas? Bukankah dulu sudah bertemu?” Tanya Amar.
“Ibarat aku berada di puncak gunung, aku 
ingin memastikan, bila Gus Miek diibaratkan telaga itu dalam, aku hendak
 terjun ke dalamnya. Bila ternyata dangkal, aku tidak mau mati bunuh 
diri,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Akhirnya, Amar kembali melporkan hal itu 
kepada Gus Miek. Semenjak saat itu, Gus Miek menjadi semakin akrab 
dengan KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Ahmad Siddiq sering menemui Gus Miek 
tanpa melalui perantaraan Amar Mujib lagi. Perlu diketahui bahwa sejak 
1968, antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq telah mulai terlibat 
pembicaraan serius mengenai NU kembali ke khittah 1926. Baru pada 1984, 
pemikiran tersebut diterima oleh NU dalam muktamar di Situbondo.
Gus Miek juga pernah mengajak KH. Ahmad 
Siddiq ziarah ke makam Gunungpring. Sampai di lokasi makam, Gus Miek 
memberikan amalan bacaan agar dibaca KH. Ahmad Siddiq saat ziarah, lalu 
Gus Miek pergi entah ke mana. KH. Ahmad Siddiq yang saat itu belum 
begitu percaya akan kelebihan Gus Miek, terutama dalam hubungannya 
dengan para wali, lalu membaca bacaan itu.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya.
Gus Miek berkata: “Benar, Kiai, rombongan Pangeran Diponegoro dan wali songo itu akan menghadiri sidang para wali di Ampel.”
Sebenarnya, masih banyak cerita mengenai 
kedekatan Gus Miek dengan beberapa tokoh besar yan lain. Misalnya, Gus 
Miek dengan keluarga KH. Ashari. Suatu hari, Gus Miek mengajak Mulyadi, 
yang punya Fiat, bersama sunyoto ke Lempuyangan, Yogyakarta, untuk 
menghadiri haul KH. Ashari yang ke-8. Tiba di Lempuyangan, KH. Hamid 
Kajoran telah menyambutnya di depan pintu. Kemudian mereka bersama masuk
 ke ruang tamu. Tiba-tiba, Nyai Ashari muncul dari dalam, bersalaman 
dengan Gus Miek dan minta doa darinya. Gus Miek yang telah menganggap 
Nyai Ashari sebagai ibunya yang ketiga setelah Nyai Rodhiyah dan Nyai 
Mujib, hanya mengiyakan saja.
Gus Miek, 15 hari sebelum wafatnya Nyai 
Ashari (ibu dari KH. Daldiri), telah datang ke Lempuyangan. Kepada 
Muhyidin dan Ambar (putri Nyai Ashari), Gus Miek memberikan secarik 
kertas bertuliskan Khodijah binti Muhyidin dan Hadi bin Ismail sambil 
berkata: “Ini, aku terakhir kali sowan Bu Nyai.” Semua keluarga 
Lempuyangan bertanya-tanya tentang maksud Gus Miek: apakah Gus Miek 
tidak akan datang lagi ke Lempuyangan atau ada maksud lain? Nyai Ashari,
 yang oleh Gus Miek telah dianggap sebagai ibunya yang ketiga setelah 
ibunya sendiri dan Nyai Mujib, ternyata 15 hari kemudian wafat. Dan, 
Khodijah binti Muhyidin berpuluh tahun kemudian benar-benar menikah 
dengan Hadi bin Ismail.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.
Dari Popongan, Gus Miek mengajak ke makam
 KH. Abdurrhman bin Hasyim, Krapyak. Di rumah KH. Abdurrahman bin Hsyim 
(Mbah Benu), yang menyambut adalah putranya yang telah lama tidak 
bertemu Gus Miek sejak Gus Miek masih berambut panjang. Keduanya 
berpelukan, setelah itu ziarah ke makam KH. Abdurrahman.
Di pinggir sungai, Gus Miek berkata 
kepada Sunyoto dan Jupri: “Mbah Benu itu memang tidak mau makamnya 
dirawat. Pernah salah seorang santrinya yang sukses datang membawa kayu 
dan genting tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan keluarga Mbah 
Benu. Dari pagi hingga Ashar, bangunan itu akhirnya jadi, tetapi waktu 
subuh bangunan itu sudah berada di tengah sungai. Akhirnya, oleh 
keluarganya diberi tahu bahwa Mbah Benu tak berkenan.” Demikianlah 
ajaran “kemiskinan” yang di ambil Gus Miek dari KH. Abdurrahman untuk 
jama’ahnya yang saat itu kebanyakan pegawai pemerintah.
Ketertundukan Binatang
Ketika gus miek baru mulai bisa 
merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu 
bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, 
tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu 
berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang 
ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa 
terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi 
sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.
Peristiwa ketertundukan binatang ini 
kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah
 Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di
 tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat
 banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan
 pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus 
Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan
 tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru 
muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki 
karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar, 
yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika 
ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking 
kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. 
Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa 
menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang 
memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir 
sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. 
Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, 
membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.
Karena ketakutan mendapat murka dari KH. 
Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, 
membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam 
cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek 
bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu 
bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek 
menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek 
hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik 
ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan 
kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya 
kembali ke pondok.
Pada suatu malam di ploso, Gus Miek 
mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al 
Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik. 
Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama 
semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya 
beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah 
malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha 
menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam 
sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh 
Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu
 yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu,
 Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke 
daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang 
terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan
 kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya 
lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Gus Miek Wafat
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek 
menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya 
(sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan 
dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya 
yang selama ini beliau rindukan. Semoga amal ibadah beliau di terima 
oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh
 Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…. 
Sumber : http://kumpulanbiografiulama.wordpress.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar