Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926 mencantumkan istilah aswaja
pada Qanun Asasinya.Jadi bagi NU, aswaja adalah doktrin aqidah yang
harus dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan oleh
pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
Ahlusunnah Waljamaah disingkat Aswaja yang dijabarkan oleh K.H.Bisyri
Mustafa dibakukan menjadi Aswaja versi NU. Menurutnya Aswaja adalah
golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Mansur Al- Maturidi dalam bidang aqidah dan mengikuti salah satu dari
mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan
Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf. Dan kesemuanya itu menjadi
rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Tapi anehnya, ulama NU sejak berdiri sampai saat ini belum
sempat melakukan “kajian serius” terhadap pemikiran para tokoh perumus
Aswaja tadi. Kevakuman ini mendorong generasi muda NU terutama mereka
yang mengenyam pendidikan tinggi, seperti Said Aqil, Masdar F. Mas’udi,
Nurhadi Iskandar, Ulil Absar Abdalla dan lain-lain mencoba untuk
melakukan “kajian kritis” terhadap keabsahan rumusan tersebut. Apakah
betul klaim aswaja sebagai doktrin kelompok tradisional (baca NU) ?.
Jauh sebelumnya, Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Temasuk
Golongan Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan bahwa pengertian Ahlussunnah
Wal Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak
asumsi bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah hanya dianut oleh segolongan
tradisional saja.(Lihat, Einar Matahan Sitompul,Mth, NU dan Pancasila,
footnote, hal 70)
Walhasil, dengan melihat latar belakang intelektualitas para
perumus Aswaja model NU dan kondisi sosialogis masyarakat Indonesia pada
awal berdirinya NU, secara apriori ada satu keyakinan bahwa konsepsi
Aswaja model NU tidak dimaksudkan sebagai defenisi mutlak dan oleh
karenanya sangat kondisional dan temporal.
Aswaja dalam Konteks Historis
Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat yang satu, tidak
terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham keagamaan,
ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul segera teratasi
dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan dari Rasullulah
SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis dan terkendali
pada waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering memfrediksi “kondisi nyaman”
ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi Rasullulah SAW itu
terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya diawali dengan kata-kata
“saya’ti ala ummati Zaman” (umatku akan sampai pada suatu masa), “sataf
tariqu ummati” (umatku akan terpecah) dan seterusnya.
Berdasarkan hadits “model Prediksi” itulah istilah Ahlusunnah Wal
Jamaah ditemukan. Rasulullah SAW.bersabda :”Umatku akan terpecah menjadi
73 golongan, hanya satu golongan yang selamat dan yang lain binasa”.
Ditanyakan :Siapakah golongan yang selamat itu ? Rasulullah menjawab
Ahlussunnah Wal Jamaah. Ditanyakan: apa Ahlussunnah Wal Jamaah itu ?.
Rasulullah menjawab: “apa yang aku dan sahabat-sahabatku lakukan saat
ini”
Hadits “iftiraqul ummah” diatas seperti yang dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.
Hadits “iftiraqul ummah” diatas seperti yang dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.
Yang pertama: berpendapat dhaif dengan hujjah tak satu pun dari
sekian isnad yang tidak mengandung perawi dhaif . Yang kedua:
berpendapat muhtajju bihi dengan alasan: meskipun tidak satu pun isnad
yang tidak mengandung perawi dhaif tapi banyaknya isnad dan sahabat yang
meriwayatkan, memperkuat dugaan adanya hadits tersebut.(lihat
:Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq,Hal 7 catatan kaki).
Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja sebagai informasi yang akan
muncul kemudian, sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,.tetapi Aswaja
sebagai realitas komunitas muslim belum ada pada masa itu. Atau dengan
kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah Aswaja; berdasarkan
hadits tadi “ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi” bahwa aswaja adalah
sikap dan amalan yang kulakukan sekarang bersama sahabat-sahabatku. Jadi
amalan (Sunnah) Rasul yang bersama para sahabat itulah yang disebut
Aswaja. Yaitu ketika kaum muslimin tidak terkotak-kotak dalam
kecenderungan misi politik. Ternyata setelah beliau wafat, para sahabat
sudah terkotak dalam kecenderungan politik tertentu. Dengan mengikuti
logika “asap dan api”, isu “iftiragul ummah” dari prediksi Rasul menjadi
kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang selamat, sudah dikenal
pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja belum ada pada masa
sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun masih
dipertanyakan apakah masuk dalam kriteria ma ana ‘alaihi al-yauma wa
ashhabi ?
Setelah beliau wafat, kecenderungan politik dengan segala frediksinya
mulai tampak ke permukaan, antara golongan Anshar, Muhajirin, dan Ahlul
Bait. Tetapi .frediksi itu segera teratasi, setelah mayoritas umat
sepakat membaiat Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali sebagai
pimpinan tertinggi kaum muslimin (khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan
berarti frediksi kecenderungan politik pudar pada masa yang dikenal
dengan era Khulafa al-.Rasyidin itu. Frediksi itu terus berkembang dan
menunggu waktu yang kondusif untuk muncul.
Usman yang tewas secara tragis dan naiknya Ali sebagai khalifah
dianggap oleh para sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya friksi
politik yang terpendam pada masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini
dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama. Dan dari sinilah visi politik
kaum muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang
terus menerus.
Berangkat dari konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti perang
shiffin sebagai fitnah kubra II, visi dan friksi politik kaum muslimin
sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan
“kebenaran” visi politiknya. Atas dasar keyakinan itulah semua golongan
membangun tradisi intelektual dari semua lini disiplin ilmu keislaman
yang berkembang. Masing- masing golongan sibuk meligitiasi Qur’an,
hadits dan atsar para sahabat sesuai dengan kecenderungan politik mereka
masing-masing.
Landasan tradisi intelektual diatas, akhirnya semakin kokoh, setelah
kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal, seperti Parsi,
India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling
menonjol adalah tradisi Hellenisme Yunani.
Kapan Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?
Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110 H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Kapan Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?
Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110 H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Dari paparan diatas, diskursus pemikiran yang paling menonjol dan
berpengaruh pada tatanan sosial dan politik pada abad kedua dan ketiga
Hijriyah (masa Abbasiyah I) adalah rasional Mu’tazilah yang berhadapan
dengan golongan tektualis Ahlus Hadits Hanabilah. Golongan terakhir
inilah kemudian mengklaim diri mereka sebagai aswaja.
Pendapat kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat ketiga; Muhammad Abduh dalam Risalat at
tauhid menjelaskan bahwa aswaja adalah klaim pendukung dan pengikut
Al-Asy’ari (wafat 303 H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan Abu
Bakar Al-Baqilany untuk pendapat beliau. (lihat Muhammad Abduh,
Risâlatut Tauhid, hal 11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema
aswaja baru muncul pada awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan
aqidah. Dari pendapat kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah
aswaja belum ada pada masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat
Islam masih dalam kondisi Ummatun Wahidah.
Perpecahan umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa
sahabat memang melahirkan kelompok-kelompok. Akan tetapi tak satu pun
kelompok diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti
Umayyah, kelompok itu mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu
juga ketika Ma’bad Al-Juhany, Ghoylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway
pada masa akhir sahabat mempermasalahkan qadla dan qadar (lihat
Syahrasyatany, Milal wan Nihal,hal.22), lahir kelompok-kelompok dengan
aqidah masing-masing. Namun tak satu pun kelompok yang dijuluki sebagai
Aswaja. Baru setelah Asy’ari memodernisasi ekstrem aqal dan ekstrem naql
dalam aqidahnya, para pengikutnya memproklamirkan diri sebagai Aswaja.
Dari fakta diatas ada indikasi bahwa munculnya klaim Aswaja merupakan
upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi suatu golongan.
Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah ?
Hadits prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk dengan
sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya
memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang
mengikuti “jejak Nabi dan Sahabat” bisa berbeda antara satu orang dengan
yang lain atau satu golongan dengan golongan lain.
Secara etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata,
yaitu: ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al-sunnah;
tradisi, jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan,
kolektifitas, komunitas, mayoritas dan lain-lain. Tiga rangkaian kata
diatas, kemudian berkembang menjadi istilah bagi sebuah komunitas muslim
yang secara konsisten bepegang teguh kepada tradisi (sunnah) Nabi
Muhammad Saw dan sebagai landasan normatif setelah Al-Qur.’an, dan
selalu mengikuti alur pemikiran dan sikap mayoritas kaum muslimin.
Dengan kata lain Ahlussunnah adalah golongan mayoritas. Bila bani
Umayyah mengklaim sebagai kelompok mayoritas maka Syiah pun membalasnya
dengan klaim yang sama. Bahkan mereka mengatakan bahwa bani Umayyah
adalah kelompok separatis. (Ibahim Haokat,As-Siyasah wal Mujtama’ i
Ashil Umawy, hal 318)
Jadi pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu.
Jadi pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu.
Konsepsi Aswaja baru mendapatkan karakteristik politis dan
theologis ketika para pendukung Asy’ari memproklamasi kan diri sebagai
Aswaja. Meskipun Asy’ari dikenal sebagai theolog,wa bittalii mazhab yang
didirikan adalah mazhab theologi, akan tetapi perbedaan umat Islam
dalam aqidah pada waktu itu interen dengan perbedaan politis. Sehingga
mazhab theologi Asya’ri juga mencakup pendapat beliau tentang khilafah .
Al-Baqdhadi (wafat29 H) dalam alfarqu bainal firaq, mengembangkan
cakupan Aswaja dan Beliau tidak memasukkan merumuskan konsepnya dengan
karakteristik yang lebih jelas. Menurutnya ada lima belas pokok aqidah
yang harus diketahui oang mukallaf. Dan orang yang mempunyai pendapat
berbeda dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu tersesat.Beliau juga
membagi kelas kelas Aswaja menjadi delapan yaitu: mutakallimin, fuqaha,
muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin, orang-orang yang
berjihad dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.
Beliau tidak memasukkan Khawarij, Qadariyyah, Syi’ah dan lain-lain
dalam kelompok Aswaja karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang
mencela, mengfasikkan para sahabat bahkan mengkafirkannya. Padahal
Aswaja adalah orang yang mengikuti jejak sahabat.
Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan bahwa:
1.Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2.Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3.kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
1.Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2.Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3.kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi dari pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan
Aswaja yang kemudian dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah
yang sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang
dianggap sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat.
Konsep Aswaja Versi NU
Konsep Aswaja Versi NU
“Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan
Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian sudah
menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian,begitu
pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian.
Begitu juga kalian harus melihat dari siapa kalian menuntut ilmu agama
Islam. Karena dengan cara menuntut ilmu pengetahuan seperti itu maka
kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu
agama Islam. Oleh karenanya janganlah memasuki satu rumah kecuali
melalui pintunya. Barang siapa yang memasuki satu rumah tidak melalui
pintunya maka ia adalah pencuri”. (Einar,opcit,hal 69).Demikian Hadatus
Syekh Hasyim Asy’ari mulanya merumuskan aswaja.
Yang menarik dari perumusan diatas adalah disebutkannya
Pengikut Imam Mazhab Empat. Ini satu indikasi bahwa penekanan aswaja
mulanya pada permasalahan figh yang dalam hal ini adalah masalah taqlid
terhadap imam empat. Hal ini bisa dimengerti karena perbedaan esensial
yamg terjadi antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional
adalah masalah taqlid dan ijtihad.
Tetapi mengapa hanya pendapat imam yang empat
dianut? Jawaban yang sering terdengar adalah hanya imam empat itulah
yang mazhabnya terkodifikasi lengkap sehingga sampai ke tangan kita
dengan selamat. Adapun mazhab lainnya belum terkodifikasi secara lengkap
sehingga pendapatnya tidak utuh sampai ke tangan kita. Kalau benar ini
alasannya, maka ada satu kejanggalan, mengapa madzhab Ad-Dzahiri dengan
mengacu kitab al-Muhallâ Ibnu Hazm tidak diikuti. Padahal Ibnu Hazm juga
disebut oleh Al-Baghdadi sebagai ulama Ahlussunnah.
Jika NU merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Jika NU merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Definisi yang dirumuskan (hasil penjabaran KH.Bisyri Mustafa) adalah
sebagai berikut : satu, menganut ajaran-ajaran imam madzhab dari salah
satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut ajaran Imam Abu
Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid.
Ketiga, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan
Ghazali dalam bidang tasawwuf.
Rumusan pada point kedua menegaskan corak ke-Aswaja-an NU dan sikap
kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedang pada point ketiga
merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan menyeleksi
tasawuf yang benar.
Bila kita bandingkan dengan konsepsi Aswaja Al-Baghdadi, setidaknya
ada dua hal yang berbeda ; Pertama, Aswaja versi NU tidak menyebutkan
pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa dimengerti, karena
Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syiah juga bukan Khawarij oleh
karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada masalah
itu. Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada aliran
tasawuf tertentu, yang itu tidak masuk dalam konsepsi Aswaja
Al-Baghdadi. Jadi mengacu pada hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja
model NU di satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan di
sisi lain merupakan pengakuan tehadap praktek keagamaan yang berkembang
saat itu.
Jika rumusan NU diatas dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi itu mengandung beberapa kelemahan;
pertama, para imam madzhab fiqih tidak mungkin secara teologis
mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena masa hidup imam
madzhab itu jauh lebih awal sebelum Al-Asy’ari lahir malah yang terjadi
Al-Asy’ari dalam fiqih mengikuti Imam Syafi’i, dan al-Maturidi mengikuti
madzhab Hanafi. Kedua, Imam Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi
al-Asy’ari dan Al-Maturidi, karena yang pertama hidup satu abad sebelum
tokoh kedua dan ketiga lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai
pengikut salah satu mazhab fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai
pelanjut teologi al-Asy’ari dan pengikut madzhab Syafi’i dalam kategori
tasawuf, ia bisa dikategorikan sebagai pengembang teori tasawuf liberal,
seperti yang dikembangkan al-Hallaj. Keempat, rumusan teologi
al-Asya’ri sampai saat ini masih simpang siur. Dalam kitab al-Ibanah, ia
secara gamblang mengecam Mu’tazilah karena sering mentakwil ayat-ayat
mutasyabihat, seraya memuji Ahmad bin Hambal yang tak mau mentakwil. Ia
sendiri menisbatkan diri sebagai pelanjut perjuangan Ahmad bin Hambal.
Tetapi dalam kitab Al-Luma’ dan Istihsan, ia mentakwil ayat-ayat
mutasyabihat, dan memuji Mu’tazilah sebagai golongan Islam yang cerdas
dan berjasa membentengi aqidah Islam dari serangan teologi Masehi,
Yahudi, Hellenisme, dan lain-lain. Dalam dua kitab itu, ia menuduh
kelompok Hambali , sebagai “bodoh” dan jumud.
Dilain pihak, golongan Al-Asya’ari dan al-Maturidi dituduh sebagai
zindiq yang menyesatkan kaum muslimin. bahkan Ibnu Taimiyah dalam
beberapa kitabnya mengkafir-kan Al-Asy’ari, jadi studi terhadap
pemikiran teologi Al-Asy’ari masih perlu diungkap secara tuntas.
Buku-buku yang terbit di Saudi Arabia cenderung untuk mengatakan
bahwa teologi Asy’ari tidak berbeda dengan teologi yang dikembangkan
oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Studi komprehensif tentang
Al-Asy’ari ditulis oleh Dr. Hamudah Gharabah menyimpulkan bahwa
al-Asy’ari merupakan pemikir yang mampu mengambil jalan tengah antara
kecenderungan filosofis dan tektualis dalam menganalisa sifat-sifat dan
kekuasaan Tuhan. Kiranya pendapat terakhir inilah yang dianut oleh warga
NU.
Penutup: Agenda Aswaja di Era Modern
Rumusan NU diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus
dipahami sebagai upaya dini untuk merespons perkembangan pemikiran yang
tak akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara landasan
normatif Qur’an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini juga
harus dipahami sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan budaya
asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode berpikir pada tokoh,
maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai bidang
pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh
dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang
membawa rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah
sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak
dalam nation state. Kedua, hubungan Syari’ah Islam dengan hukum publik
baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat
menuju masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu
penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Ketika perdebatan aqidah makin marak dengan munculnya aliran
Qadariyah dan Jabariyah, lahirlah al-Asy’ari seorang teolog yang ingin
mengembalikan pemahaman aqidah seperti pemahaman kaum salaf dengan
memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql. Oleh pengikut dan pendukung
nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai Aswaja. Awalnya pengertian
Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun kemudian berkembang
dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih.
Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan karakteristik tertentu setelah
al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang menjadi ciri khas Aswaja.
Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak didasarkan pada
pelacakan terhadap kelompok mayoritas pada setiap era.
Perumusan berikutnya dilakukan NU yang intinya merupakan
penyempitan terhadap konsep Aswaja Al-Baghdady. Hal itu terjadi karena
dasar keberdirian NU dari satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan
pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan terhadap praktek keagamaan
yang berlaku saat itu. Oleh karena itu Aswaja model NU tidak bersifat
mutlak dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi mengingat
perkembangan keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja
ditiadakan karena akan mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal-
Lâhu al musta’ân (http://satuislam.wordpress.com)
(Imam Ghazali MA) + Tulisan diambil dari naskah diskusi mingguan KMNU yang diramu kembali dengan makalah saudara Najib Buchori oleh Firdaus Dahlan
0 komentar:
Posting Komentar