Bismillahirrahmanirrahim | Members area : Register | Sign in
Logo Design by FlamingText.com

Admin

Wikipedia

Hasil penelusuran

Konstribusi Alumni vs Pesantren

Selasa, 29 Oktober 2013


Pesantren  ditempatkan sebagai sarana dakwah. Di tengah-tengah semakin banyak  lembaga pendidikan yang berorientasi bisnis, pesantren masih tetap memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan untuk membangun ummat
Untuk mempertegas  orientasinya itu, maka  pondok pesantren melakukan pembinaan terhadap alumni, di antaranya dengan membentuk organisasi alumni di berbagai kota. Dengan  cara seperti  itu, maka hubungan antara pesantren dan para alumninya tidak pernah putus. Pesantren dalam dalam menjalankan misi dan visinya seharusnya diperjuangkan  dan diimplementasikan secara terus menerus oleh para alumni di  mana saja berada.
Para alumnus Pesantren adalah barometer kualitas sebuah pesantren. Pesantren yang baik pasti memiliki alumni yang unggul. 

Penting untuk mengingat bahwa hubungan antara guru dengan murid dan lembaga pendidikan dengan peserta didik sungguh tidak terbatas pada apa dan bagaimanapun. Alumni, dalam hal ini santri yang telah selesai studinya di pesantren masih memiliki ikatan emosional yang tidak akan luntur sepanjang masa. Pesantren dan alumni adalah dua hal yang idealnya selalu berdampingan, saling mengisi dan saling mengarahkan. Ada kontinuitas dialektika antara pesantren dan alumni dalam proses pembinaan, pengembangan dan implementasi terhadap nilai-nilai ajaran islam.
Tetapi pada kenyataannya, pesantren belum berperan aktif guna menjadi Jembatan aktif yang mengarahkan alumninya supaya tetap diakui keberadaannya  dan menunjukkan peran aktif. Dan alumni pun belum menunjukan eksistensinya sebagai produk pesantren dan kontribusinya terhadap arah gerak perjuangan pesantren.....apakah memenang benar demikian?...

Salah Satu Metode Cara Menghafal Al Qur’an

Senin, 28 Oktober 2013

 Berikut ini adalah salah satu dari metode bagi anda yang mau menghafal ayat-ayat dalam al Qur’an. Tapi yang perlu diperhatikan sebelumnya bahwa,
Obat terbesar dalam menghafal dan memahami adalah taqwa kepada Allah SWT.“Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajarimu”
Imam Syafi;i berkata, “Aku mengadukan perihal keburukan hafalanku kepada guruku, yang bernama Imam Waki’, lalu guruku berwasiat agar aku menjauhi maksiat dan dosa. Guruku kemudian berkata: ‘Muridku, ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang maksiat’”.
Adapun langkah-langkah menghafal al Qur’an, sebagai berikut:
  1. Hendaklah permulaan hafalan al Qur’an dimulai dari surat An Naas lalu al Falaq, yakni kebalikan dari urutan surat-surat al Qur’an. Cara ini akan memudahkan tahapan dalam perjalanan menghafal Al Qur’an serta memudahkan latihan dalam membacanya di dalam shalat baik.
  2. Membagi hafalan menjadi dua bagian. Pertama, hafalan baru. Kedua, membaca al Qur’an ketika shalat.
  3. Mengkhususkan waktu siang, yaitu dari fajar hingga maghrib untuk hafalan baru.
  4. Mengkhususkan waktu malam, yaitu dari adzan Maghrib hingga adzan Fajar untuk membaca al Qur’an di dalam shalat.
  5. Membagi hafalan baru menjadi dua bagian: Pertama hafalan. Kedua, pengulangan. Adapun hafalan, hendaknya ditentukan waktunya setelah shalat fajar dan setelah Ashar. Sedangkan pengulangan dilakukan setelah shalat sunnah atau wajib sepanjang siang hari.
  6. Meminimalkan kadar hafalan baru dan lebih memfokuskan pada pengulangan ayat-ayat yang telah dihafal.
  7. Hendaklah membagi ayat-ayat yang telah dihafal menjadi tujuh bagian sesuai jumlah hari dalam sepekan, sehingga membaca setiap bagian dalam shalat setiap malam.
  8. Setiap kali bertambah kadar hafalan, maka hendaklah diulangi kadar pembagian pengelompokan pekanannya agar sesuai dengan kadar tambahan.
  9. Hendaklah hafalannya persurat. Jika surat tersebut panjang, bisa dibagi menjadi beberapa ayat berdasarkan temannya. Tema-tema yang panjang juga bisa dibagi menjadi dua bagian atau lebih. atau dapat juga dikumpulkan surat-surat atau tema-tema yang pendek menjadi satu penggalan. Yang penting pembagian tersebut tidak asal-asalan, bukan berdasarkan berapa halaman atau berapa barisnya.
  10. Tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan sama sekali melewati surat apapun sampai ia menghafalnya secara keseluruhan, seberapa pun panjangnya. Dan setelah menghafalnya secara keseluruhan, maka hendaklah diulang-ulang beberapa kali dalam tempo lebih dari satu hari.
  11. Apabila di tengah shalat malam mengalami kelemahan dalam hafalan sebagian surat, maka hendaklah dilakukan pengulangan kembali disiang hari di hari berikutnya. Dalam kondisi seperti ini, tidak dibenarkan memulai hafalan baru. Kebanyakan hal seperti ini terjadi di awal-awal hari setelah menyelesaikan hafalan baru.
  12. Sangat dianjurkan sekali untuk memperdengarkan surat-surat yang akan digunakan dalam shalat malam kepada orang lain.
  13. Sangat baik mendidik anggota keluarga dengan metode ini. Caranya dengan membuat jadwal pekanan bagi setiap anggota keluarga dan memperdengarkan hafalan kepada mereka di siang hari, mengingatkan kepada mereka, memotivasi mereka untuk membacanya ketika shalat malam, serta membekali mereka supaya bisa berlatih sehingga tumbuh berkembang diatas al Qur’an. Dan al Qur’an bisa menjadi teman bagi mereka yang tidak bisa lepas darinya dan tidak kuasa untuk berpisah dengannya. Serta bisa menjadi lentera yang menerangi jalan kehidupan mereka.
  14. Hendaklah memperhatikan cara membacanya. Bacaan harus tartil (perlahan) dan dengan suara yang terdengar oleh telinga. Bacaan yang tergesa-gesa walaupun dengan alasan ingin menguatkan hafalan baru adalah bentuk pelalaian terhadap tujuan membaca al Qur’an (untuk memperoleh ilmu, untuk diamalkan, untuk bermunajat kepada Allah, untuk memperoleh pahala, untuk berobat dengannya).
  15. Tujuan dari menghafal al Qur’an bukanlah untuk menghafal lafadz-lafadznya dalam jumlah yang banyak. tetapi tujuannya adalah mengulang-ulang surat yang telah dihafal dalam shalat dengan niatan, mentadabburi al Qur’an. tetapi apabila mampu menghafal banyak surat sesuai apa yang telah disebutkan diatas, itu lebih utama dari pada sedikit menghafal. Yang terpenting adalah menerapkan kaidah diatas. Apabila menurutmu waktu sangat sempit maka ambillah kadar yang sedikit namun terus diulang-ulang.
http://dkmfahutan.wordpress.com/2007/08/02/metode-menghafal-al-qur%E2%80%99an/

Menghormati Ilmu dan Guru menurut Kitab Ta'lim Muta'allim


Tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya bila tidak mau menghormati ilmu dan gurunya. Cara menghormati guru antara lain: tidak berjalan di depan gurunya, tidak duduk di tempat yang diduduki gurunya, bila dihadapan gurunya tidak memulai pembicaraan kecuali ada izinnya. Janganlah terlalu banyak bicara di hadapan guru, tidak menanyainya dalam keadaan yang lelah atau bosan, perhatikan waktunya, tidak mengganggunya di rumahnya. Intinya santri haruslah mencari keridhoaan dari gurunya. Jangan menyakiti hati guru karena itu menyebabkan ilmu tidak dapat berkah. Cara menghormati guru adalah dengan menghormati kitab atau buku. Jangan memegang buku kecuali dalam keadaan suci. Ilmu itu adalah cahaya, sedangkan wudhu juga cahaya. Cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudhu. Menghormati buku juga dengan cara: tidak meletakkan buku di dekat kakinya ketika bersila, meletakkan buku buku tafsir di atas buku-buku lain juga tidak meletakkan apa pun di atas buku. Kecuali kalau ia tidak berniat meremehkan. Tapi alangkah lebih baiknya bila tidak melakukannya. Perbaguslah tulisan di dalam buku. Jangan terlalu kecil sehingga sulit dibaca. Sebaiknya tidak menggunakan tinta warna merah dalam menulis, karena itu kebiasaan filosof dan bukan kebiasaan ulama salaf. Cara lain dalam menghormati ilmu adalah dengan menghormati teman belajar terutama orang yang mengajarnya. Hendaknya tetap mendengarkan ilmu dan hikmah dengan hormat sekalipun ia telah berkali kali mendengarnya. Sebaiknya santri tidak sembarangan memilih ilmu, tapi diserahkan kepada gurunya. Karena gurunya biasanya lebih tahu dengan yang terbaik bagi santrinya tersebut. Janganlah terlalu dekat duduk dengan gurunya. Santri harus meninggalkan akhlak yang tercela. Karena akhlak yang tercela diumpamakan binatang anjing yang samar. Ilmu adalah musuh bagi orang orang yang congkak. Kemuliaan itu datang bukan karena usaha, tapi dari pemberian karunia Alloh.

Apakah Itu Kitab Kuning ?

 Definisi kitab kuning Ada banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi wajib di pesantren ini Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja, istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan. Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning. Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini tak lagi digunakan. Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Kitab Kuning dan Pendidikan di Pesantren Pendidikan pesantren pendidikan indigenous nusantara. Satu sumber menyatakan institusi pendidikan ini telah ada pada mas Walisanga yang didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di daerah Gresik Jawa Timur. Kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukan arti tempat. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi menjadi orang baik. Pesantren yang awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini berkembang pula di luar Jawa. Di luar jawa sebenarnya pendidikan agama ada yang disebut dengan surau seperti di Sumatra Barat, dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan. Kini nama – nama itu telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren. Dalam pandangan Zamakhsjari Dofier, Pendidikan pesantren memiliki empat ciri : yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning sebagai materi kajian di pesantren. Sebenarnya, awal mula mengkaji agama dilakukan di rumah guru mengaji (ustad), ada pula belajar agama di Masjid. Pada mulanya di masjid inilah yang banyak dijadikan tempat belajar membaca Al- Qur’an dan belajar agama, tetapi lama – kelamaan masjid tidak cukup luas maka dibuatlah suatu tempat untuk belajar agama. Belajar agama kepada kiyai yang tersohor telah mengundang mereka tentang yang tinggal letaknya jauh dari kiyai, maka untuk itu dibuatlah tempat mereka menginap atau berdiam dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian tampaknya pendidikan agama mengalami dinamika dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama yang kemudian disebut dengan pesantren.
Pendidikan pesantren dapat menjadi pendidikan unggul baik keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri. Karena di pesantren santrinya belajar mulai ba’da shubuh hingga jam sebelas malam, artinya mereka belajar paling tidak selama 16 jam. Sangat logis santri pesantren banyak ilmunya.Begitu pula mereka unggul dalam moralitas karena mereka senantiasa diberikan pelajaran ntuk berperilaku yang baik, baik didalam kelas maupun diluar kelas, contoh – contoh perilaku baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti kyai. Mungkin yang masih kering dalam pembelajaran psntren adalah sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas santri. Pola pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang melakukan kritik kepada kyai seniornya atau pola belajar yang monolotik tidak menumbuhkan kreatifitas santri. Padahal sifat Allah adalah Maha Pencipta, maka di diri manusia sifat itu terbentuk kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan Allah di bumi.
Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwidnya. Juga mengkaji ilmu agama melalui guru atau kyai dan mereka memiliki rujukan melalui kitab kuning. Mulanya mereka belajar masalah aqidah, ibadah & muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran – pelajaran seperti mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya.
Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan – tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan sesuai dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu. Cara mereka belajar menggunakan sorogan,yaitu santri perindividu belajar langsung ke kyai dengan cara mendengarkan bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui cara bandongan, yaitu santri belajar secara kelompok dengan cara mencatat di sisi kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab tertentu. Juga dengan cara halaqah yakni santri belajar bersama, mendiskusikan suatu masalah untuk dipecahkan bersama – sama.
Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan digunakan pula oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian mereka disampaikan ada dorongan dari agama untuk membela orang – orang tertindas, ada pula dorongan dari agama melalui ajaran jihad yakni berperang dengan musuh yang melakukan penjajahan di Nusantara.
Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan pelajaran kitab kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan kemudian diperlukan penambahan sarana belajar maupun sarana tempat tempat tidur para santri. Maka, para pengelola pesantren mendirikan sekolah umum, mengadopsi model pendidikan umum, dengan menambah pendidikan agama di jam sore atau malam. Selain mendirikan sistem madrasah di pondok pesantren, mereka juga mendirikan perguruan tinggi agama, atau Ma’had Aly bahkan ada pula perguruan tinggi umum atau universitas. Ada pula pesantren yang menjadi tempat berdiam tetapi mereka belajar diluar tetapi pada malam hari mereka belajar kitab kuning di kyai pesantren itu.
Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokan menjadi tiga tipe yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya belajar agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren disamping belajar kitab kuning tetapi siswanya belajar ilmu umum di sekolah formal seperti SLTP / SMU atau madrasah yang disebut dengan pesantren kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya menekankan santrinya belajar ilmu agama dan umum adapun kitab kuning tidak dibebankan kepada santri yang disebut pesantren khalafiyah atau ‘Asyriyah. Dinamika pesantren terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau pengasuh pesantren yang berfikir bahwa pesantren bukan saja tempat belajar ilmu tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat meningkatkan ketrampilan, apakah itu jahit menjahit, pertukangan dan seterusnya. Dari pengembangan potensi ini pesantren dapat pula memberikan pengalaman ini dapat digunakan untuk hidupnya setelah berada di tengah – tengah kehidupan di masyarakat, selain mereka menjadi pemimpin agama di masyarakat. [3]
Definisi kitab kuning Ada banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi wajib di pesantren ini Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja, istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan. Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning. Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini tak lagi digunakan. Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Kitab Kuning dan Pendidikan di Pesantren Pendidikan pesantren pendidikan indigenous nusantara. Satu sumber menyatakan institusi pendidikan ini telah ada pada mas Walisanga yang didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di daerah Gresik Jawa Timur. Kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukan arti tempat. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi menjadi orang baik. Pesantren yang awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini berkembang pula di luar Jawa. Di luar jawa sebenarnya pendidikan agama ada yang disebut dengan surau seperti di Sumatra Barat, dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan. Kini nama – nama itu telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren. Dalam pandangan Zamakhsjari Dofier, Pendidikan pesantren memiliki empat ciri : yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning sebagai materi kajian di pesantren. Sebenarnya, awal mula mengkaji agama dilakukan di rumah guru mengaji (ustad), ada pula belajar agama di Masjid. Pada mulanya di masjid inilah yang banyak dijadikan tempat belajar membaca Al- Qur’an dan belajar agama, tetapi lama – kelamaan masjid tidak cukup luas maka dibuatlah suatu tempat untuk belajar agama. Belajar agama kepada kiyai yang tersohor telah mengundang mereka tentang yang tinggal letaknya jauh dari kiyai, maka untuk itu dibuatlah tempat mereka menginap atau berdiam dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian tampaknya pendidikan agama mengalami dinamika dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama yang kemudian disebut dengan pesantren.
Pendidikan pesantren dapat menjadi pendidikan unggul baik keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri. Karena di pesantren santrinya belajar mulai ba’da shubuh hingga jam sebelas malam, artinya mereka belajar paling tidak selama 16 jam. Sangat logis santri pesantren banyak ilmunya.Begitu pula mereka unggul dalam moralitas karena mereka senantiasa diberikan pelajaran ntuk berperilaku yang baik, baik didalam kelas maupun diluar kelas, contoh – contoh perilaku baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti kyai. Mungkin yang masih kering dalam pembelajaran psntren adalah sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas santri. Pola pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang melakukan kritik kepada kyai seniornya atau pola belajar yang monolotik tidak menumbuhkan kreatifitas santri. Padahal sifat Allah adalah Maha Pencipta, maka di diri manusia sifat itu terbentuk kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan Allah di bumi.
Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwidnya. Juga mengkaji ilmu agama melalui guru atau kyai dan mereka memiliki rujukan melalui kitab kuning. Mulanya mereka belajar masalah aqidah, ibadah & muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran – pelajaran seperti mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya.
Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan – tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan sesuai dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu. Cara mereka belajar menggunakan sorogan,yaitu santri perindividu belajar langsung ke kyai dengan cara mendengarkan bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui cara bandongan, yaitu santri belajar secara kelompok dengan cara mencatat di sisi kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab tertentu. Juga dengan cara halaqah yakni santri belajar bersama, mendiskusikan suatu masalah untuk dipecahkan bersama – sama.
Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan digunakan pula oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian mereka disampaikan ada dorongan dari agama untuk membela orang – orang tertindas, ada pula dorongan dari agama melalui ajaran jihad yakni berperang dengan musuh yang melakukan penjajahan di Nusantara.
Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan pelajaran kitab kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan kemudian diperlukan penambahan sarana belajar maupun sarana tempat tempat tidur para santri. Maka, para pengelola pesantren mendirikan sekolah umum, mengadopsi model pendidikan umum, dengan menambah pendidikan agama di jam sore atau malam. Selain mendirikan sistem madrasah di pondok pesantren, mereka juga mendirikan perguruan tinggi agama, atau Ma’had Aly bahkan ada pula perguruan tinggi umum atau universitas. Ada pula pesantren yang menjadi tempat berdiam tetapi mereka belajar diluar tetapi pada malam hari mereka belajar kitab kuning di kyai pesantren itu.
Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokan menjadi tiga tipe yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya belajar agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren disamping belajar kitab kuning tetapi siswanya belajar ilmu umum di sekolah formal seperti SLTP / SMU atau madrasah yang disebut dengan pesantren kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya menekankan santrinya belajar ilmu agama dan umum adapun kitab kuning tidak dibebankan kepada santri yang disebut pesantren khalafiyah atau ‘Asyriyah. Dinamika pesantren terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau pengasuh pesantren yang berfikir bahwa pesantren bukan saja tempat belajar ilmu tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat meningkatkan ketrampilan, apakah itu jahit menjahit, pertukangan dan seterusnya. Dari pengembangan potensi ini pesantren dapat pula memberikan pengalaman ini dapat digunakan untuk hidupnya setelah berada di tengah – tengah kehidupan di masyarakat, selain mereka menjadi pemimpin agama di masyarakat.

Pendiri Pondok Pesantren Manbaul Hikam Putat

Jumat, 25 Oktober 2013



A. MASA KECIL KH. KHOZIN MANSUR 
Adalah putra dari kyai Mansur, lahir didesa Mayangan, kabupaten Jombang sekitar tahun 1912 M. Sejak kecilnya, kyai Khozin hidup dilingkungan keluarga yang religious. Pendidikan dan ilmu agama ia peroleh dari kedua orang tuanya dan sang kakek yang bernama Mbah Minhaj. Sosok mbah minhaj adalah guru agama yang mengajarnya saat menuntut ilmu dibangku Sekolah Rakyat. (SR: Setingkat Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah pada masa sekarang). Sejak usia belia, kyai Khozin sudah mempunyai semangat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Usai menyerap pokok-pokok ilmu agama yang diberikan oleh Mbah Minhaj dan ilmu-ilmu lain dari sekolah rakyat, kyai Khozin melanjutkan sekolahnya didesa Parimono (sekitar 5 km arah selatan desa Mayangan, Jombang). Pendidikan dasar seperti umumnya ditempuh selama enam tahun. 
B. NYANTRI KE KH. HASYIM ASY’ARI 
Tamat menuntut ilmu pada pendidikan Tingkat Dasar (SR) di Mayangan, dan Parimono, Khozin dipasrahkan oleh abanya (Kyai Mansur) kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk bisa belajar ilmu-ilmu agama di pondok pesantren yang beliau pimpin, yaitu Tebu Ireng Jombang. Situasi dan kondisi zaman saat kyai Khozin memulai nyantri di KH. Hasyim Asy’ari adalah zaman penjajah Belanda atas bangsa Indnesia. Dan KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana kita ketahui adalah sosok ulama besar dan Kharismatik. Beliau adalah mata gurunya Kyai-Kyai Jawa, pendiri dan Ro’is Akbar Nahdhtul Ulama’ (NU). Seluruh hidupnya didarmabaktikan untuk berdakwah dan mewujudkan cita-cita IZZUL ISLAM WAL MUSLIMIN (Menciptakan keluhuran islam dan kaum Muslimin). Cara yang beliau tempuh untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut adalah dengan mendirikan Pondok Pesantren, Mendidik umat, dan Mencetak Ulama’ dan Kader-Kader bangsa. Jika umat dapat di didik dan di cerdaskan, dan tokoh ulama’, dan pejuang dipersatukan, maka akan menjadi senjata ampuh untuk meraih kemerdekaan tanah air, Lepas dari cengkraman penjajah Belanda. Bertahun tahun mondok di Tebu Ireng betul-betul di manfaatkan oleh Khozin untuk mengkaji kitab- kitab hadits nomer wahid dalam tradisi keilmuan kaum Sunni (Ahlussunnah Waljama’ah) yaitu kitab sohih Al-Bukhori karya Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori atau yang populer disebut “Al-imam Al-Bukhori” dan kitab Shohih Muslim karya “Al-Imam Muslim” dan Kutubus Sittah lainnya, seperti Sunan Al-Turmudzi, Sunan An-Nasa’I, Sunan Al-Tabrani dan Sunan Ibnu Majjah. Seperti di ketahui bahwa ilmu hadits merupakan salah satu spesialisasi keilmuaan KH. Hasyim Asy’ari. Di samping mengkaji kitab-kitab babun di atas, kyai Khozin juga menerima pengajaran kitab Fathul Mu’in (disiplin kajian fiqih) secara langsung dari Hadratus Syaikh. Belum dapat di ketahui pasti berapa puluh tahun santri yang bernama Kyai Khozin Mansur ini nyantri dan menyerap ilmu-ilmu agama dari pesantren Hadratus Syaikh di Tebu Ireng. Hanya saja ketika di wawancarai oleh H.Aflah Afriadi (cucu KH. Khozin Mansur) dan Moch. Solehuddin (guru MA.Manba’ul Hikam) pada hari minggu 25 November 2007, KH. Khozin Mansur menuturkan bahwa dirinya ketika menamatkan ilmu-ilmu penting di pesanren Tebu Ireng, di tawarkan oleh Hadratus Syaikh untuk bersedia dikirim mengajar disalah satu pesantren di Pulau Madura, tapi dengan syarat harus mendapatkan izin dari orang tua. Tawaran Hadratus Syaikh tersebut akhirnya beliau konsultasikan dengan Kyai Mansur dan Ibunyai Mansur. Kyai Mansur tidak berkomentar apa-apa, tetapi Ibunyai Mansur tidak mengizini. Sang ibu lebih senang kalau anaknya yang bernama Khozin ini lebih lama lagi menyerap ilmu di Tebu Ireng. Alasan ibu menolak tawaran tersebut cukup sederhana, yaitu kalau kamu pergi ke Madura dan sudah di paksa bapak guru maka aku khawatir kamu akan lupa diri, sehingga malas mengaji. Hasil konsultasi dan musyawarah dengan orang tua, akhirnya beliau haturkan kepada Hadratus Syaikh. Beliau pun memahami sehingga tidak jadi mendelegasikan santri seniornya (kyai Khozin) ke pesantren pulau Madura. Setelah kejadian di atas, Hadratus Syaikh berkata sebagaimana di ceritakan oleh KH. Khozin kepada H. Aflah dan M. Solehuddin pada hari minggu 25 November 2007, “Saya dulu pernah mondok di Wonokoyo, malahan yang mengajar adalah abamu (Kyai Mansur) dan saya mengaji Ibnu ‘aqil. Pada saat itu jarang sekali orang yang mengaji kitab Ibnu ‘aqil, yang mengajar adalah abamu”. Saat nyantri di Tebu Ireng kyai Khozin Mansur mempunyai kenangan spesial dengan Gus Kholik Hasyim (putra Hadratus Syaikh yang juga sahabat akrab Khozin). Hampir tiap pukul 01.00 WIB (dini hari), Gus Kholik (sekarang pesantrennya diteruskan oleh Puntranya KH. Khakam Kholiq) datang dan mengetuk pintu kamar kyai Khozin. Lalu mereka berdua pergi ke warung kopi untuk sekedar ngopi dan bercengkrama. Setelah itu, mereka berdua kembali ke kamar untuk muthola’ah kitab bersama.
(http://hikamasfa.wordpress.com)
Pedulikah Akhi-Ukhti (Alumni) terhadap PP. Manbaul Hikam Putat?
Sangat Peduli0%
Peduli 0%
Tidak Peduli 0%
Biasa Aja0%

Popular Posts

Unit Pendidikan

Followers

Kontributor

Random Post

Flag Counter

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *