Definisi kitab kuning Ada
banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi
wajib di pesantren ini Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang
digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja,
istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan
“kitab kuning” ini adalah khas Indonesia.
Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan
pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada
tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan.
Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning. Sebutan ini
mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya
dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya
penulisannya kini tak lagi digunakan. Meski atas dasar rentang waktu
yang begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Kitab Kuning dan Pendidikan di Pesantren Pendidikan pesantren pendidikan indigenous
nusantara. Satu sumber menyatakan institusi pendidikan ini telah ada
pada mas Walisanga yang didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di
daerah Gresik Jawa Timur. Kata pesantren berasal dari kata santri yang
diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukan arti tempat. Kata santri
itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant (manusia baik)
dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan untuk membina manusia menjadi menjadi orang baik. Pesantren
yang awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini berkembang pula di luar Jawa.
Di luar jawa sebenarnya pendidikan agama ada yang disebut dengan surau
seperti di Sumatra Barat, dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan.
Kini nama – nama itu telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren.
Dalam pandangan Zamakhsjari Dofier, Pendidikan pesantren memiliki empat
ciri : yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning sebagai
materi kajian di pesantren.
Sebenarnya, awal mula mengkaji agama dilakukan di rumah guru mengaji
(ustad), ada pula belajar agama di Masjid. Pada mulanya di masjid inilah
yang banyak dijadikan tempat belajar membaca Al- Qur’an dan belajar
agama, tetapi lama – kelamaan masjid tidak cukup luas maka dibuatlah
suatu tempat untuk belajar agama. Belajar agama kepada kiyai yang
tersohor telah mengundang mereka tentang yang tinggal letaknya jauh dari
kiyai, maka untuk itu dibuatlah tempat mereka menginap atau berdiam
dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian tampaknya pendidikan agama
mengalami dinamika dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama
yang kemudian disebut dengan pesantren.
Pendidikan pesantren dapat menjadi
pendidikan unggul baik keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri.
Karena di pesantren santrinya belajar mulai ba’da shubuh hingga jam
sebelas malam, artinya mereka belajar paling tidak selama 16 jam. Sangat
logis santri pesantren banyak ilmunya.Begitu pula mereka unggul dalam
moralitas karena mereka senantiasa diberikan pelajaran ntuk berperilaku
yang baik, baik didalam kelas maupun diluar kelas, contoh – contoh
perilaku baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti
kyai. Mungkin yang masih kering dalam pembelajaran psntren adalah
sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas santri. Pola
pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang melakukan kritik
kepada kyai seniornya atau pola belajar yang monolotik tidak menumbuhkan
kreatifitas santri. Padahal sifat Allah adalah Maha Pencipta, maka di
diri manusia sifat itu terbentuk kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan
Allah di bumi.
Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwidnya. Juga
mengkaji ilmu agama melalui guru atau kyai dan mereka memiliki rujukan
melalui kitab kuning. Mulanya mereka belajar masalah aqidah, ibadah
& muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran – pelajaran seperti
mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya.
Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan –
tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan sesuai
dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu. Cara mereka
belajar menggunakan sorogan,yaitu santri perindividu belajar langsung ke
kyai dengan cara mendengarkan bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui
cara bandongan, yaitu santri belajar secara kelompok dengan cara
mencatat di sisi kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab
tertentu. Juga dengan cara halaqah yakni santri belajar bersama,
mendiskusikan suatu masalah untuk dipecahkan bersama – sama.
Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan digunakan pula
oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna melakukan perlawanan
terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian mereka disampaikan ada dorongan
dari agama untuk membela orang – orang tertindas, ada pula dorongan dari
agama melalui ajaran jihad yakni berperang dengan musuh yang melakukan
penjajahan di Nusantara.
Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan pelajaran kitab
kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan kemudian diperlukan
penambahan sarana belajar maupun sarana tempat tempat tidur para santri.
Maka, para pengelola pesantren mendirikan sekolah umum, mengadopsi
model pendidikan umum, dengan menambah pendidikan agama di jam sore atau
malam. Selain mendirikan sistem madrasah di pondok pesantren, mereka
juga mendirikan perguruan tinggi agama, atau Ma’had Aly bahkan ada pula
perguruan tinggi umum atau universitas. Ada pula pesantren yang menjadi
tempat berdiam tetapi mereka belajar diluar tetapi pada malam hari
mereka belajar kitab kuning di kyai pesantren itu.
Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokan menjadi tiga tipe
yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya
belajar agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren disamping belajar
kitab kuning tetapi siswanya belajar ilmu umum di sekolah formal
seperti SLTP / SMU atau madrasah yang disebut dengan pesantren
kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya menekankan santrinya belajar
ilmu agama dan umum adapun kitab kuning tidak dibebankan kepada santri
yang disebut pesantren khalafiyah atau ‘Asyriyah. Dinamika pesantren
terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau pengasuh pesantren yang berfikir
bahwa pesantren bukan saja tempat belajar ilmu tetapi juga dapat
dijadikan sebagai tempat meningkatkan ketrampilan, apakah itu jahit
menjahit, pertukangan dan seterusnya. Dari pengembangan potensi ini
pesantren dapat pula memberikan pengalaman ini dapat digunakan untuk
hidupnya setelah berada di tengah – tengah kehidupan di masyarakat,
selain mereka menjadi pemimpin agama di masyarakat. [3]
Definisi kitab kuning Ada
banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi
wajib di pesantren ini Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang
digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja,
istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan
“kitab kuning” ini adalah khas Indonesia.
Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan
pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada
tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan.
Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning. Sebutan ini
mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya
dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya
penulisannya kini tak lagi digunakan. Meski atas dasar rentang waktu
yang begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Kitab Kuning dan Pendidikan di Pesantren Pendidikan pesantren pendidikan indigenous
nusantara. Satu sumber menyatakan institusi pendidikan ini telah ada
pada mas Walisanga yang didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di
daerah Gresik Jawa Timur. Kata pesantren berasal dari kata santri yang
diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukan arti tempat. Kata santri
itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant (manusia baik)
dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan untuk membina manusia menjadi menjadi orang baik. Pesantren
yang awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini berkembang pula di luar Jawa.
Di luar jawa sebenarnya pendidikan agama ada yang disebut dengan surau
seperti di Sumatra Barat, dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan.
Kini nama – nama itu telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren.
Dalam pandangan Zamakhsjari Dofier, Pendidikan pesantren memiliki empat
ciri : yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning sebagai
materi kajian di pesantren.
Sebenarnya, awal mula mengkaji agama dilakukan di rumah guru mengaji
(ustad), ada pula belajar agama di Masjid. Pada mulanya di masjid inilah
yang banyak dijadikan tempat belajar membaca Al- Qur’an dan belajar
agama, tetapi lama – kelamaan masjid tidak cukup luas maka dibuatlah
suatu tempat untuk belajar agama. Belajar agama kepada kiyai yang
tersohor telah mengundang mereka tentang yang tinggal letaknya jauh dari
kiyai, maka untuk itu dibuatlah tempat mereka menginap atau berdiam
dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian tampaknya pendidikan agama
mengalami dinamika dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama
yang kemudian disebut dengan pesantren.
Pendidikan pesantren dapat menjadi
pendidikan unggul baik keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri.
Karena di pesantren santrinya belajar mulai ba’da shubuh hingga jam
sebelas malam, artinya mereka belajar paling tidak selama 16 jam. Sangat
logis santri pesantren banyak ilmunya.Begitu pula mereka unggul dalam
moralitas karena mereka senantiasa diberikan pelajaran ntuk berperilaku
yang baik, baik didalam kelas maupun diluar kelas, contoh – contoh
perilaku baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti
kyai. Mungkin yang masih kering dalam pembelajaran psntren adalah
sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas santri. Pola
pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang melakukan kritik
kepada kyai seniornya atau pola belajar yang monolotik tidak menumbuhkan
kreatifitas santri. Padahal sifat Allah adalah Maha Pencipta, maka di
diri manusia sifat itu terbentuk kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan
Allah di bumi.
Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwidnya. Juga
mengkaji ilmu agama melalui guru atau kyai dan mereka memiliki rujukan
melalui kitab kuning. Mulanya mereka belajar masalah aqidah, ibadah
& muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran – pelajaran seperti
mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya.
Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan –
tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan sesuai
dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu. Cara mereka
belajar menggunakan sorogan,yaitu santri perindividu belajar langsung ke
kyai dengan cara mendengarkan bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui
cara bandongan, yaitu santri belajar secara kelompok dengan cara
mencatat di sisi kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab
tertentu. Juga dengan cara halaqah yakni santri belajar bersama,
mendiskusikan suatu masalah untuk dipecahkan bersama – sama.
Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan digunakan pula
oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna melakukan perlawanan
terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian mereka disampaikan ada dorongan
dari agama untuk membela orang – orang tertindas, ada pula dorongan dari
agama melalui ajaran jihad yakni berperang dengan musuh yang melakukan
penjajahan di Nusantara.
Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan pelajaran kitab
kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan kemudian diperlukan
penambahan sarana belajar maupun sarana tempat tempat tidur para santri.
Maka, para pengelola pesantren mendirikan sekolah umum, mengadopsi
model pendidikan umum, dengan menambah pendidikan agama di jam sore atau
malam. Selain mendirikan sistem madrasah di pondok pesantren, mereka
juga mendirikan perguruan tinggi agama, atau Ma’had Aly bahkan ada pula
perguruan tinggi umum atau universitas. Ada pula pesantren yang menjadi
tempat berdiam tetapi mereka belajar diluar tetapi pada malam hari
mereka belajar kitab kuning di kyai pesantren itu.
Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokan menjadi tiga tipe
yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya
belajar agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren disamping belajar
kitab kuning tetapi siswanya belajar ilmu umum di sekolah formal
seperti SLTP / SMU atau madrasah yang disebut dengan pesantren
kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya menekankan santrinya belajar
ilmu agama dan umum adapun kitab kuning tidak dibebankan kepada santri
yang disebut pesantren khalafiyah atau ‘Asyriyah. Dinamika pesantren
terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau pengasuh pesantren yang berfikir
bahwa pesantren bukan saja tempat belajar ilmu tetapi juga dapat
dijadikan sebagai tempat meningkatkan ketrampilan, apakah itu jahit
menjahit, pertukangan dan seterusnya. Dari pengembangan potensi ini
pesantren dapat pula memberikan pengalaman ini dapat digunakan untuk
hidupnya setelah berada di tengah – tengah kehidupan di masyarakat,
selain mereka menjadi pemimpin agama di masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar