KH. Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29 Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama.
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern,
da’wah beliau dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar,
yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita
Nahdlatul Ulama. KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah
seorang ulama yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan bangsa
Indonesia. Beliau dilahirkan di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur
pada bulan Maret 1888. silsilah KH. Abdul Wahab Hasbullah bertemu dengan
silsilah KHM. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Shihah.
Semenjak
kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam
segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang
santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari
untuk shalat tahajjud. Kemudian K.H. Hasbullah membimbingnya untuk
menghafalkan Juz Ammah dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih.
Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling
kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab
Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan
Al Majmu'. Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran,
Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan
yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa
kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab dalam asuhan langsung
ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal ilmunya, barulah Abdul Wahab
merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke
pesantren lainnya. Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan,
Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah.
Beliau
tidak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, maka pada
usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci
itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada Syekh Mahfudh At Turmasi dan
Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, Abdul Wahab langsung
diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.
Langkah
awal yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak
Pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat
jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang
berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dgngan gubahan
syajr-syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah
tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari
cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan. belenggu
kolonial Belanda.
Namun
demikian, tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang
akan ditempuh Kiai Wahab, setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul
Wathan'. Ini penting karena dalam diri Kiai 'Wahab agaknya tersimpan
beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe
manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh
mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai
pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum
modernis anti madzhab.
Bertolak
dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila
kemudian beliau mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka
seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok Kebondalem Surabaya, untuk
mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang
berarti 'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok diskusi yang membahas
berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dan anggotanya juga
terdiri atas para ulama dan ulama muda yang mempertahankan sistem
bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919,
kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar'
yang bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar
menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat
elementer.
Bertempat
di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul Afkar'
bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya
bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada saat itu
(tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian, bukan
berarti meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap
berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul Afkar'.
Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya
tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan
Pegirian Surabaya.
Hingga
di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI)
berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H.
Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan
itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih
condong pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan
kelompok anti madzhab sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan
Kiai Wahab, yakni ulama yang mempertahankan sistem madzhab.
Dalam
hubungannya dengan gerakan pembaruan itu, agaknya Kiai Wahab seringkali
tidak dapat menghindari serangan-serangan mereka baik yang ada di SI
maupun di K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan utamanya membangun
nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali dilancarkan
hingga Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan
pendapat antara Kiai Wahab dengan K.H. Mas Mansur.
Peristiwa
ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga tidak
perlu mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk
mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi,
kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru:
Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di
Jombang, Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul
Wathan di Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.
Apa
pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya
tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan
utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul
Wathan' berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara
menyanyikannya sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun
1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap kali akan
dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan
syair tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana
layaknya menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'.
Seperti
telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus memperhatikan Nahdlatu1
Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat
membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama
bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat
dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka
kursus 'masail diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna
menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang
mempertahankan madzhab.
Kegiatan
kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam
seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur
saja, melainkan juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa
lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena
peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk
membantu. Di antara teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah KH.
Bishri Syansuri (Jombang), KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH.
Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari Surabaya,
K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan dari
kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah
Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan Abdul Hakim, Petukangan
Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.
Dengan
demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi
menolak serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama yang
dikursus, agaknya dipersiapkan betul untuk menjadi juru bicara tangguh
dalam menghadapi kelompok pembaru, sehingga dalam perkembangan
berikutnya, ketika berkobar perdebatan seputar masalah 'khilafiyah' di
beberapa daerah, tidak lagi perlu meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi
cukup dihadapi ulama-ulama muda peserta kursus tersebut.
Pada
saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu
membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd. Wahab Hasbullah mengusulkan agar
delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya madzahibul arba' ah di Makkah -
Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh
tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim
Asy' ari membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke
Makkah - Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan
JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan
dari perjuangan K.H. Abd. Wahab Hasbullah.
Demikianlah
selintas pintas riwayat K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan
semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di
tanah tercinta Indonesia. Di samping itu beliau seorang tokoh besar
Islam terutama dalam mempertahankan kebenaran madzhab dari serangan kaum
yang menyebut dirinya modernis Islam.
Pelopor Kebebasan Berpikir
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan
Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab
Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau merupakan
seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan
terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab
Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan
Pemikiran) di Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
“Barang
siapa membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan
menghidupkannya. Dan barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama
dengan ziarah kepadaku (Nabi SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku
setelah aku wafat, maka wajib baginya mendapat syafatku di Hari Qiyamat.
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
0 komentar:
Posting Komentar