Bismillahirrahmanirrahim | Members area : Register | Sign in
Logo Design by FlamingText.com

Admin

Wikipedia

Hasil penelusuran

Pentingnya Kebersamaan Alumni dan Pesantren

Rabu, 13 November 2013



Fenomena pesantren dengan pemberdayaan alumni menjadi solusi alternatif dalam medan sosial ekonomi dan spiritual Indonesia. Disini terlihat peran Roisul Makhad tidak hanya memfungsikan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan agama dalam arti sempit tetapi juga berperan serta dalam membangun National character building. Namun, diperlukan arah yang tepat dalam mengikuti alur perkembangannya 
Alumni merupakan barometer kemajuan pondok, sebagai agen akselerasi, hendaklah mengaplikasikan segala pendidikan yang sudah pondok berikan dalam segala aspek kehidupan. Sehingga bisa lebih maju dan lebih berani untuk menghadapi hidup yang serba kompleks. 
terlepas dari peran Alumni yang sedemikian penting, harus dibarengi dengan sikap bijak, komunikasi yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif terhadap Pesantren itu sendiri, jangan ada kesan pembiaran terhadap para alumni, sikap acuh tak acuh akan berdampak kurang manis terhadap pesantren itu...akomodir, ajak bicara, ajak komunikasi, ajak shering, tukar informasi. Pelibatan alumni dalam kancah pengembangan organisasi di dalam pesanten menjadi area yang baik untuk kemajuan pesantren dan lembaga yang ada di dalamnya...

Konstribusi Alumni vs Pesantren

Selasa, 29 Oktober 2013


Pesantren  ditempatkan sebagai sarana dakwah. Di tengah-tengah semakin banyak  lembaga pendidikan yang berorientasi bisnis, pesantren masih tetap memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan untuk membangun ummat
Untuk mempertegas  orientasinya itu, maka  pondok pesantren melakukan pembinaan terhadap alumni, di antaranya dengan membentuk organisasi alumni di berbagai kota. Dengan  cara seperti  itu, maka hubungan antara pesantren dan para alumninya tidak pernah putus. Pesantren dalam dalam menjalankan misi dan visinya seharusnya diperjuangkan  dan diimplementasikan secara terus menerus oleh para alumni di  mana saja berada.
Para alumnus Pesantren adalah barometer kualitas sebuah pesantren. Pesantren yang baik pasti memiliki alumni yang unggul. 

Penting untuk mengingat bahwa hubungan antara guru dengan murid dan lembaga pendidikan dengan peserta didik sungguh tidak terbatas pada apa dan bagaimanapun. Alumni, dalam hal ini santri yang telah selesai studinya di pesantren masih memiliki ikatan emosional yang tidak akan luntur sepanjang masa. Pesantren dan alumni adalah dua hal yang idealnya selalu berdampingan, saling mengisi dan saling mengarahkan. Ada kontinuitas dialektika antara pesantren dan alumni dalam proses pembinaan, pengembangan dan implementasi terhadap nilai-nilai ajaran islam.
Tetapi pada kenyataannya, pesantren belum berperan aktif guna menjadi Jembatan aktif yang mengarahkan alumninya supaya tetap diakui keberadaannya  dan menunjukkan peran aktif. Dan alumni pun belum menunjukan eksistensinya sebagai produk pesantren dan kontribusinya terhadap arah gerak perjuangan pesantren.....apakah memenang benar demikian?...

Salah Satu Metode Cara Menghafal Al Qur’an

Senin, 28 Oktober 2013

 Berikut ini adalah salah satu dari metode bagi anda yang mau menghafal ayat-ayat dalam al Qur’an. Tapi yang perlu diperhatikan sebelumnya bahwa,
Obat terbesar dalam menghafal dan memahami adalah taqwa kepada Allah SWT.“Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajarimu”
Imam Syafi;i berkata, “Aku mengadukan perihal keburukan hafalanku kepada guruku, yang bernama Imam Waki’, lalu guruku berwasiat agar aku menjauhi maksiat dan dosa. Guruku kemudian berkata: ‘Muridku, ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang maksiat’”.
Adapun langkah-langkah menghafal al Qur’an, sebagai berikut:
  1. Hendaklah permulaan hafalan al Qur’an dimulai dari surat An Naas lalu al Falaq, yakni kebalikan dari urutan surat-surat al Qur’an. Cara ini akan memudahkan tahapan dalam perjalanan menghafal Al Qur’an serta memudahkan latihan dalam membacanya di dalam shalat baik.
  2. Membagi hafalan menjadi dua bagian. Pertama, hafalan baru. Kedua, membaca al Qur’an ketika shalat.
  3. Mengkhususkan waktu siang, yaitu dari fajar hingga maghrib untuk hafalan baru.
  4. Mengkhususkan waktu malam, yaitu dari adzan Maghrib hingga adzan Fajar untuk membaca al Qur’an di dalam shalat.
  5. Membagi hafalan baru menjadi dua bagian: Pertama hafalan. Kedua, pengulangan. Adapun hafalan, hendaknya ditentukan waktunya setelah shalat fajar dan setelah Ashar. Sedangkan pengulangan dilakukan setelah shalat sunnah atau wajib sepanjang siang hari.
  6. Meminimalkan kadar hafalan baru dan lebih memfokuskan pada pengulangan ayat-ayat yang telah dihafal.
  7. Hendaklah membagi ayat-ayat yang telah dihafal menjadi tujuh bagian sesuai jumlah hari dalam sepekan, sehingga membaca setiap bagian dalam shalat setiap malam.
  8. Setiap kali bertambah kadar hafalan, maka hendaklah diulangi kadar pembagian pengelompokan pekanannya agar sesuai dengan kadar tambahan.
  9. Hendaklah hafalannya persurat. Jika surat tersebut panjang, bisa dibagi menjadi beberapa ayat berdasarkan temannya. Tema-tema yang panjang juga bisa dibagi menjadi dua bagian atau lebih. atau dapat juga dikumpulkan surat-surat atau tema-tema yang pendek menjadi satu penggalan. Yang penting pembagian tersebut tidak asal-asalan, bukan berdasarkan berapa halaman atau berapa barisnya.
  10. Tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan sama sekali melewati surat apapun sampai ia menghafalnya secara keseluruhan, seberapa pun panjangnya. Dan setelah menghafalnya secara keseluruhan, maka hendaklah diulang-ulang beberapa kali dalam tempo lebih dari satu hari.
  11. Apabila di tengah shalat malam mengalami kelemahan dalam hafalan sebagian surat, maka hendaklah dilakukan pengulangan kembali disiang hari di hari berikutnya. Dalam kondisi seperti ini, tidak dibenarkan memulai hafalan baru. Kebanyakan hal seperti ini terjadi di awal-awal hari setelah menyelesaikan hafalan baru.
  12. Sangat dianjurkan sekali untuk memperdengarkan surat-surat yang akan digunakan dalam shalat malam kepada orang lain.
  13. Sangat baik mendidik anggota keluarga dengan metode ini. Caranya dengan membuat jadwal pekanan bagi setiap anggota keluarga dan memperdengarkan hafalan kepada mereka di siang hari, mengingatkan kepada mereka, memotivasi mereka untuk membacanya ketika shalat malam, serta membekali mereka supaya bisa berlatih sehingga tumbuh berkembang diatas al Qur’an. Dan al Qur’an bisa menjadi teman bagi mereka yang tidak bisa lepas darinya dan tidak kuasa untuk berpisah dengannya. Serta bisa menjadi lentera yang menerangi jalan kehidupan mereka.
  14. Hendaklah memperhatikan cara membacanya. Bacaan harus tartil (perlahan) dan dengan suara yang terdengar oleh telinga. Bacaan yang tergesa-gesa walaupun dengan alasan ingin menguatkan hafalan baru adalah bentuk pelalaian terhadap tujuan membaca al Qur’an (untuk memperoleh ilmu, untuk diamalkan, untuk bermunajat kepada Allah, untuk memperoleh pahala, untuk berobat dengannya).
  15. Tujuan dari menghafal al Qur’an bukanlah untuk menghafal lafadz-lafadznya dalam jumlah yang banyak. tetapi tujuannya adalah mengulang-ulang surat yang telah dihafal dalam shalat dengan niatan, mentadabburi al Qur’an. tetapi apabila mampu menghafal banyak surat sesuai apa yang telah disebutkan diatas, itu lebih utama dari pada sedikit menghafal. Yang terpenting adalah menerapkan kaidah diatas. Apabila menurutmu waktu sangat sempit maka ambillah kadar yang sedikit namun terus diulang-ulang.
http://dkmfahutan.wordpress.com/2007/08/02/metode-menghafal-al-qur%E2%80%99an/

Menghormati Ilmu dan Guru menurut Kitab Ta'lim Muta'allim


Tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya bila tidak mau menghormati ilmu dan gurunya. Cara menghormati guru antara lain: tidak berjalan di depan gurunya, tidak duduk di tempat yang diduduki gurunya, bila dihadapan gurunya tidak memulai pembicaraan kecuali ada izinnya. Janganlah terlalu banyak bicara di hadapan guru, tidak menanyainya dalam keadaan yang lelah atau bosan, perhatikan waktunya, tidak mengganggunya di rumahnya. Intinya santri haruslah mencari keridhoaan dari gurunya. Jangan menyakiti hati guru karena itu menyebabkan ilmu tidak dapat berkah. Cara menghormati guru adalah dengan menghormati kitab atau buku. Jangan memegang buku kecuali dalam keadaan suci. Ilmu itu adalah cahaya, sedangkan wudhu juga cahaya. Cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudhu. Menghormati buku juga dengan cara: tidak meletakkan buku di dekat kakinya ketika bersila, meletakkan buku buku tafsir di atas buku-buku lain juga tidak meletakkan apa pun di atas buku. Kecuali kalau ia tidak berniat meremehkan. Tapi alangkah lebih baiknya bila tidak melakukannya. Perbaguslah tulisan di dalam buku. Jangan terlalu kecil sehingga sulit dibaca. Sebaiknya tidak menggunakan tinta warna merah dalam menulis, karena itu kebiasaan filosof dan bukan kebiasaan ulama salaf. Cara lain dalam menghormati ilmu adalah dengan menghormati teman belajar terutama orang yang mengajarnya. Hendaknya tetap mendengarkan ilmu dan hikmah dengan hormat sekalipun ia telah berkali kali mendengarnya. Sebaiknya santri tidak sembarangan memilih ilmu, tapi diserahkan kepada gurunya. Karena gurunya biasanya lebih tahu dengan yang terbaik bagi santrinya tersebut. Janganlah terlalu dekat duduk dengan gurunya. Santri harus meninggalkan akhlak yang tercela. Karena akhlak yang tercela diumpamakan binatang anjing yang samar. Ilmu adalah musuh bagi orang orang yang congkak. Kemuliaan itu datang bukan karena usaha, tapi dari pemberian karunia Alloh.

Apakah Itu Kitab Kuning ?

 Definisi kitab kuning Ada banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi wajib di pesantren ini Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja, istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan. Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning. Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini tak lagi digunakan. Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Kitab Kuning dan Pendidikan di Pesantren Pendidikan pesantren pendidikan indigenous nusantara. Satu sumber menyatakan institusi pendidikan ini telah ada pada mas Walisanga yang didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di daerah Gresik Jawa Timur. Kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukan arti tempat. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi menjadi orang baik. Pesantren yang awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini berkembang pula di luar Jawa. Di luar jawa sebenarnya pendidikan agama ada yang disebut dengan surau seperti di Sumatra Barat, dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan. Kini nama – nama itu telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren. Dalam pandangan Zamakhsjari Dofier, Pendidikan pesantren memiliki empat ciri : yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning sebagai materi kajian di pesantren. Sebenarnya, awal mula mengkaji agama dilakukan di rumah guru mengaji (ustad), ada pula belajar agama di Masjid. Pada mulanya di masjid inilah yang banyak dijadikan tempat belajar membaca Al- Qur’an dan belajar agama, tetapi lama – kelamaan masjid tidak cukup luas maka dibuatlah suatu tempat untuk belajar agama. Belajar agama kepada kiyai yang tersohor telah mengundang mereka tentang yang tinggal letaknya jauh dari kiyai, maka untuk itu dibuatlah tempat mereka menginap atau berdiam dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian tampaknya pendidikan agama mengalami dinamika dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama yang kemudian disebut dengan pesantren.
Pendidikan pesantren dapat menjadi pendidikan unggul baik keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri. Karena di pesantren santrinya belajar mulai ba’da shubuh hingga jam sebelas malam, artinya mereka belajar paling tidak selama 16 jam. Sangat logis santri pesantren banyak ilmunya.Begitu pula mereka unggul dalam moralitas karena mereka senantiasa diberikan pelajaran ntuk berperilaku yang baik, baik didalam kelas maupun diluar kelas, contoh – contoh perilaku baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti kyai. Mungkin yang masih kering dalam pembelajaran psntren adalah sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas santri. Pola pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang melakukan kritik kepada kyai seniornya atau pola belajar yang monolotik tidak menumbuhkan kreatifitas santri. Padahal sifat Allah adalah Maha Pencipta, maka di diri manusia sifat itu terbentuk kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan Allah di bumi.
Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwidnya. Juga mengkaji ilmu agama melalui guru atau kyai dan mereka memiliki rujukan melalui kitab kuning. Mulanya mereka belajar masalah aqidah, ibadah & muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran – pelajaran seperti mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya.
Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan – tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan sesuai dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu. Cara mereka belajar menggunakan sorogan,yaitu santri perindividu belajar langsung ke kyai dengan cara mendengarkan bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui cara bandongan, yaitu santri belajar secara kelompok dengan cara mencatat di sisi kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab tertentu. Juga dengan cara halaqah yakni santri belajar bersama, mendiskusikan suatu masalah untuk dipecahkan bersama – sama.
Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan digunakan pula oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian mereka disampaikan ada dorongan dari agama untuk membela orang – orang tertindas, ada pula dorongan dari agama melalui ajaran jihad yakni berperang dengan musuh yang melakukan penjajahan di Nusantara.
Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan pelajaran kitab kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan kemudian diperlukan penambahan sarana belajar maupun sarana tempat tempat tidur para santri. Maka, para pengelola pesantren mendirikan sekolah umum, mengadopsi model pendidikan umum, dengan menambah pendidikan agama di jam sore atau malam. Selain mendirikan sistem madrasah di pondok pesantren, mereka juga mendirikan perguruan tinggi agama, atau Ma’had Aly bahkan ada pula perguruan tinggi umum atau universitas. Ada pula pesantren yang menjadi tempat berdiam tetapi mereka belajar diluar tetapi pada malam hari mereka belajar kitab kuning di kyai pesantren itu.
Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokan menjadi tiga tipe yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya belajar agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren disamping belajar kitab kuning tetapi siswanya belajar ilmu umum di sekolah formal seperti SLTP / SMU atau madrasah yang disebut dengan pesantren kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya menekankan santrinya belajar ilmu agama dan umum adapun kitab kuning tidak dibebankan kepada santri yang disebut pesantren khalafiyah atau ‘Asyriyah. Dinamika pesantren terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau pengasuh pesantren yang berfikir bahwa pesantren bukan saja tempat belajar ilmu tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat meningkatkan ketrampilan, apakah itu jahit menjahit, pertukangan dan seterusnya. Dari pengembangan potensi ini pesantren dapat pula memberikan pengalaman ini dapat digunakan untuk hidupnya setelah berada di tengah – tengah kehidupan di masyarakat, selain mereka menjadi pemimpin agama di masyarakat. [3]
Definisi kitab kuning Ada banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi wajib di pesantren ini Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja, istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan. Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning. Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini tak lagi digunakan. Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.
Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [2]
Kitab Kuning dan Pendidikan di Pesantren Pendidikan pesantren pendidikan indigenous nusantara. Satu sumber menyatakan institusi pendidikan ini telah ada pada mas Walisanga yang didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di daerah Gresik Jawa Timur. Kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukan arti tempat. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi menjadi orang baik. Pesantren yang awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini berkembang pula di luar Jawa. Di luar jawa sebenarnya pendidikan agama ada yang disebut dengan surau seperti di Sumatra Barat, dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan. Kini nama – nama itu telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren. Dalam pandangan Zamakhsjari Dofier, Pendidikan pesantren memiliki empat ciri : yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning sebagai materi kajian di pesantren. Sebenarnya, awal mula mengkaji agama dilakukan di rumah guru mengaji (ustad), ada pula belajar agama di Masjid. Pada mulanya di masjid inilah yang banyak dijadikan tempat belajar membaca Al- Qur’an dan belajar agama, tetapi lama – kelamaan masjid tidak cukup luas maka dibuatlah suatu tempat untuk belajar agama. Belajar agama kepada kiyai yang tersohor telah mengundang mereka tentang yang tinggal letaknya jauh dari kiyai, maka untuk itu dibuatlah tempat mereka menginap atau berdiam dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian tampaknya pendidikan agama mengalami dinamika dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama yang kemudian disebut dengan pesantren.
Pendidikan pesantren dapat menjadi pendidikan unggul baik keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri. Karena di pesantren santrinya belajar mulai ba’da shubuh hingga jam sebelas malam, artinya mereka belajar paling tidak selama 16 jam. Sangat logis santri pesantren banyak ilmunya.Begitu pula mereka unggul dalam moralitas karena mereka senantiasa diberikan pelajaran ntuk berperilaku yang baik, baik didalam kelas maupun diluar kelas, contoh – contoh perilaku baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti kyai. Mungkin yang masih kering dalam pembelajaran psntren adalah sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas santri. Pola pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang melakukan kritik kepada kyai seniornya atau pola belajar yang monolotik tidak menumbuhkan kreatifitas santri. Padahal sifat Allah adalah Maha Pencipta, maka di diri manusia sifat itu terbentuk kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan Allah di bumi.
Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwidnya. Juga mengkaji ilmu agama melalui guru atau kyai dan mereka memiliki rujukan melalui kitab kuning. Mulanya mereka belajar masalah aqidah, ibadah & muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran – pelajaran seperti mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya.
Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan – tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan sesuai dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu. Cara mereka belajar menggunakan sorogan,yaitu santri perindividu belajar langsung ke kyai dengan cara mendengarkan bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui cara bandongan, yaitu santri belajar secara kelompok dengan cara mencatat di sisi kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab tertentu. Juga dengan cara halaqah yakni santri belajar bersama, mendiskusikan suatu masalah untuk dipecahkan bersama – sama.
Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan digunakan pula oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian mereka disampaikan ada dorongan dari agama untuk membela orang – orang tertindas, ada pula dorongan dari agama melalui ajaran jihad yakni berperang dengan musuh yang melakukan penjajahan di Nusantara.
Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan pelajaran kitab kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan kemudian diperlukan penambahan sarana belajar maupun sarana tempat tempat tidur para santri. Maka, para pengelola pesantren mendirikan sekolah umum, mengadopsi model pendidikan umum, dengan menambah pendidikan agama di jam sore atau malam. Selain mendirikan sistem madrasah di pondok pesantren, mereka juga mendirikan perguruan tinggi agama, atau Ma’had Aly bahkan ada pula perguruan tinggi umum atau universitas. Ada pula pesantren yang menjadi tempat berdiam tetapi mereka belajar diluar tetapi pada malam hari mereka belajar kitab kuning di kyai pesantren itu.
Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokan menjadi tiga tipe yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya belajar agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren disamping belajar kitab kuning tetapi siswanya belajar ilmu umum di sekolah formal seperti SLTP / SMU atau madrasah yang disebut dengan pesantren kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya menekankan santrinya belajar ilmu agama dan umum adapun kitab kuning tidak dibebankan kepada santri yang disebut pesantren khalafiyah atau ‘Asyriyah. Dinamika pesantren terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau pengasuh pesantren yang berfikir bahwa pesantren bukan saja tempat belajar ilmu tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat meningkatkan ketrampilan, apakah itu jahit menjahit, pertukangan dan seterusnya. Dari pengembangan potensi ini pesantren dapat pula memberikan pengalaman ini dapat digunakan untuk hidupnya setelah berada di tengah – tengah kehidupan di masyarakat, selain mereka menjadi pemimpin agama di masyarakat.

Pendiri Pondok Pesantren Manbaul Hikam Putat

Jumat, 25 Oktober 2013



A. MASA KECIL KH. KHOZIN MANSUR 
Adalah putra dari kyai Mansur, lahir didesa Mayangan, kabupaten Jombang sekitar tahun 1912 M. Sejak kecilnya, kyai Khozin hidup dilingkungan keluarga yang religious. Pendidikan dan ilmu agama ia peroleh dari kedua orang tuanya dan sang kakek yang bernama Mbah Minhaj. Sosok mbah minhaj adalah guru agama yang mengajarnya saat menuntut ilmu dibangku Sekolah Rakyat. (SR: Setingkat Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah pada masa sekarang). Sejak usia belia, kyai Khozin sudah mempunyai semangat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Usai menyerap pokok-pokok ilmu agama yang diberikan oleh Mbah Minhaj dan ilmu-ilmu lain dari sekolah rakyat, kyai Khozin melanjutkan sekolahnya didesa Parimono (sekitar 5 km arah selatan desa Mayangan, Jombang). Pendidikan dasar seperti umumnya ditempuh selama enam tahun. 
B. NYANTRI KE KH. HASYIM ASY’ARI 
Tamat menuntut ilmu pada pendidikan Tingkat Dasar (SR) di Mayangan, dan Parimono, Khozin dipasrahkan oleh abanya (Kyai Mansur) kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk bisa belajar ilmu-ilmu agama di pondok pesantren yang beliau pimpin, yaitu Tebu Ireng Jombang. Situasi dan kondisi zaman saat kyai Khozin memulai nyantri di KH. Hasyim Asy’ari adalah zaman penjajah Belanda atas bangsa Indnesia. Dan KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana kita ketahui adalah sosok ulama besar dan Kharismatik. Beliau adalah mata gurunya Kyai-Kyai Jawa, pendiri dan Ro’is Akbar Nahdhtul Ulama’ (NU). Seluruh hidupnya didarmabaktikan untuk berdakwah dan mewujudkan cita-cita IZZUL ISLAM WAL MUSLIMIN (Menciptakan keluhuran islam dan kaum Muslimin). Cara yang beliau tempuh untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut adalah dengan mendirikan Pondok Pesantren, Mendidik umat, dan Mencetak Ulama’ dan Kader-Kader bangsa. Jika umat dapat di didik dan di cerdaskan, dan tokoh ulama’, dan pejuang dipersatukan, maka akan menjadi senjata ampuh untuk meraih kemerdekaan tanah air, Lepas dari cengkraman penjajah Belanda. Bertahun tahun mondok di Tebu Ireng betul-betul di manfaatkan oleh Khozin untuk mengkaji kitab- kitab hadits nomer wahid dalam tradisi keilmuan kaum Sunni (Ahlussunnah Waljama’ah) yaitu kitab sohih Al-Bukhori karya Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori atau yang populer disebut “Al-imam Al-Bukhori” dan kitab Shohih Muslim karya “Al-Imam Muslim” dan Kutubus Sittah lainnya, seperti Sunan Al-Turmudzi, Sunan An-Nasa’I, Sunan Al-Tabrani dan Sunan Ibnu Majjah. Seperti di ketahui bahwa ilmu hadits merupakan salah satu spesialisasi keilmuaan KH. Hasyim Asy’ari. Di samping mengkaji kitab-kitab babun di atas, kyai Khozin juga menerima pengajaran kitab Fathul Mu’in (disiplin kajian fiqih) secara langsung dari Hadratus Syaikh. Belum dapat di ketahui pasti berapa puluh tahun santri yang bernama Kyai Khozin Mansur ini nyantri dan menyerap ilmu-ilmu agama dari pesantren Hadratus Syaikh di Tebu Ireng. Hanya saja ketika di wawancarai oleh H.Aflah Afriadi (cucu KH. Khozin Mansur) dan Moch. Solehuddin (guru MA.Manba’ul Hikam) pada hari minggu 25 November 2007, KH. Khozin Mansur menuturkan bahwa dirinya ketika menamatkan ilmu-ilmu penting di pesanren Tebu Ireng, di tawarkan oleh Hadratus Syaikh untuk bersedia dikirim mengajar disalah satu pesantren di Pulau Madura, tapi dengan syarat harus mendapatkan izin dari orang tua. Tawaran Hadratus Syaikh tersebut akhirnya beliau konsultasikan dengan Kyai Mansur dan Ibunyai Mansur. Kyai Mansur tidak berkomentar apa-apa, tetapi Ibunyai Mansur tidak mengizini. Sang ibu lebih senang kalau anaknya yang bernama Khozin ini lebih lama lagi menyerap ilmu di Tebu Ireng. Alasan ibu menolak tawaran tersebut cukup sederhana, yaitu kalau kamu pergi ke Madura dan sudah di paksa bapak guru maka aku khawatir kamu akan lupa diri, sehingga malas mengaji. Hasil konsultasi dan musyawarah dengan orang tua, akhirnya beliau haturkan kepada Hadratus Syaikh. Beliau pun memahami sehingga tidak jadi mendelegasikan santri seniornya (kyai Khozin) ke pesantren pulau Madura. Setelah kejadian di atas, Hadratus Syaikh berkata sebagaimana di ceritakan oleh KH. Khozin kepada H. Aflah dan M. Solehuddin pada hari minggu 25 November 2007, “Saya dulu pernah mondok di Wonokoyo, malahan yang mengajar adalah abamu (Kyai Mansur) dan saya mengaji Ibnu ‘aqil. Pada saat itu jarang sekali orang yang mengaji kitab Ibnu ‘aqil, yang mengajar adalah abamu”. Saat nyantri di Tebu Ireng kyai Khozin Mansur mempunyai kenangan spesial dengan Gus Kholik Hasyim (putra Hadratus Syaikh yang juga sahabat akrab Khozin). Hampir tiap pukul 01.00 WIB (dini hari), Gus Kholik (sekarang pesantrennya diteruskan oleh Puntranya KH. Khakam Kholiq) datang dan mengetuk pintu kamar kyai Khozin. Lalu mereka berdua pergi ke warung kopi untuk sekedar ngopi dan bercengkrama. Setelah itu, mereka berdua kembali ke kamar untuk muthola’ah kitab bersama.
(http://hikamasfa.wordpress.com)

Profil KH. M. Ma’shum bin Aly pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah

Kamis, 24 Oktober 2013

Diceritakan, seumur hidup beliau hanya mempunyai satu foto dan ketika akan meninggal beliau membakar fotonya tersebut karena takut identitasnya diketahui orang. Foto di atas adalah isteri beliau Ny Hj Khoiriyah Hasyim yang adalah putri Hadratus syeikh KH Hasyim Asy'ari.
Kesederhanaannya membuat banyak orang tidak mengenal tokoh alim yang satu ini. Padahal beliau adalah pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Sebuah kitab ilmu sharaf yang amat masyhur di Nusantara, bahkan di luar negeri.

Nama lengkapnya, Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Jabbar Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang, Gresik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan oleh sang kakek.

Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri generasi awal Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Pada masa itu, selain dituntut untuk belajar, para santri juga diharuskan ikut berjuang melawan penjajah. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali -kelak atas inisiatif Hadratus Syeikh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo Cukir.

Bertahun-tahun lamanya pemuda Ma’shum mengabdi di Tebuireng. kemampuannya dalam segala bidang ilmu, terutama bidang falak, hisab, sharaf, dan nahwu, membuat Hadratus Syeikh tertarik untuk menikahkan dengan putrinya, Khairiyah. Mendirikan Pondok Seblak adalah sebuah nama dusun yang terletak sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran, seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syeikh. Melihat kondisi ini, Kiai Ma’shum merasa terpanggil untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.

Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, di sekitar rumah tersebut kemudian didirikan pondok dan masjid, yang berkembang cukup pesat.

Meski sudah berhasil mendirikan pondok, Kiai Ma’shum tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng, membantu Hadratus Syeikh mendidik santri. Pada tahun berikutnya, beliau diangkat menjadi Mufattis (Pengawas) di Madrasah tersebut.

Karya Pena
Meskipun jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syeikh, akan tetapi hampir semua kitab karangannya sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih  mengenal kitab karangannya dibanding pengarangnya. Ada empat kitab karya beliau;

1. Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan. Kitab ini bahkan menjadi menjadi pegangan wajib di setiap pesantren salaf. Ada yang menjulukinya kitab ”Tasrifan Jombang”. Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.

2. Fathul Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, kitab ini diterbitkan  oleh penerbit Salim Nabhan Surabaya dengan Halaman yang tipis tapi lengkap. Kitab ini banyak dijumpai di pasaran.

3.  Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi Matahari, dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilid dengan jumlah 109 halaman.

4. Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah Matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan Bumi. Sedangkan Matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi Bumi.

Pribadi yang SederhanaSebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.

Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar darinya. Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan di perahu, selama dalam perjalanan haji. Beliau  tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Hasilnya, dari situ beliau menulis kitab Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sikap sombong di hadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tak lain karena beliau takut identitasnya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.


Hubungan yang Harmonis
Kehidupan sehari-hari Kiai Ma’shum mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Khusus kepada Hadratus Syeikh, beliau sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagai hadiah untuk Kiai Hasyim. Bahkan kitab As-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syeikh ketika mengarang kitab.

(Almh) Nyai Khoiriyah Hasyim menceritakan: Suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syeikh tentang dua persoalan; pertama, soal foto dan penentuan awal Ramadhan. Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syeikh menyatakan haram. (lihat; Heru Sukardi: 1979)

Kedua, soal permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab (perhitungan astronomis). Sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan teori ru’yat (observasi bulan sabit). Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.

Walaupun kedua ulama’ ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama merupakan hal yang wajar.

”Kepulangan” Sang Teladan
Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru. Beliau wafat pada usia  kurang lebih 46 tahun. Wafatnya Kiai Ma’shum merupakan ”musibah besar” terutama bagi santri Tebuireng, karena beliaulah satu-satunya ulama yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syeikh. Hingga kini, belum ada seorang ulama pun yang mampu menggantikannya. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah SWT dan apa yang ditinggalkan bermanfaat. Allahummagfir lahu wa nafa’ana bihi wa bi ulumihi. Amin.

Biografi Al-Maghfurlah KH. Adlan Aly Cukir


Nama  lengkap beliau adalah Muhammad Adlan Aly, yang lahir pada tanggal 3 Juni 1900 Masehi diMaskumambang kecamatan Dukun sedayu kabupaten Gresik.Dan wafat tanggal 6 Oktober 1990 M.atau 17 Robiul awal 1411 H. yang kemudian di semakamkan di pemakaman pondok Tebuireng Jombang.
Konon di tengah–tengah Desa Sembungah kidul kecamatan Dukun ada hutan kecil yang kemudian di babat oleh KH. Abdul Djabbar dan didirikanlah sebuah rumah. Sedang beberapa tahun berikutnya beliau dengan istrinya Ibu Nyai Nur simah menunaikan ibadah haji. Setelah dua tahun berikutnya di Makkah kembali ke tanah air untuk mendirikan masjid dan pondok pesantren. Dari hutan yang tidak di pelihara  menjadi daerah yang subur dan indah sebagai tempat mencari ilmu  seakan –akan emas yang mengambang karena daerah sekitarnya di liputi sungai, jadilah nama Maskumambang dari kata Emas dan Kambang (mengapung).

KH.Abdul; Jabbar lahir pada tahun 1241 H, yang ketika masih mudanya pernah belajar di pondok pesantren Ngelom sepanjang Sidoarjo, kemudian meneruskan ke pondok pesantren Tugu Kedawung  Pasuruan .Setelah dewasa di ambil menantu oleh KH.Idris Kebon Dalem Bourno Bojonegoro, mendapat putrinya yang bernama Nur Simah. Pada tahun 1325 H. atau 1907 KH. Abdul Djabbar menghadap Alloh SWT. Dalam usianya yang ke-84, di makamkan di desa Siraman kira-kira 700 meter dari Maskumambang. Pondok pesantren yang di tinggalkan di lanjutkan oleh putra-putri beliau terutama KH. Faqih . sedang putrinya nya,Ibu Nyai HJ. Muchsinah dengan KH.Aly mulai merintis mendirikan pondok pesantren di Maskumambang juga. Dari pasangan Ibu Hj.Muchsinah dengan KH.Adlan Aly  mulai merintis mendirikan piondok pesantren di Maskumambang juga .Dari pasangan Ibu Hj. Muchsinah dengan KH. Adlan Aly inilah yang lahir KH. Muhammad Adlan Aly yang bersaudarakan KH.Makhsum (yang terkenal dengan ahli ilmu falaq), H.M. Mahbub, Mus’idah Rohimah.
Diusia yang sudah mencukupi KH.M.Adlan Aly menikah dengan Ibu Nyai Hj. Romlah yang kemudian lahir dua putra dan dua putrinya Nyai Hj. Mustaghfiroh, KH. Ahmad Hamdan Adlan, Ibu Nyai Hj. Sholikhah dan KH. Abdul Djabbar. Dalam perjalanan pulang dari tanah suci Mekkah pada tahun 1939M, Ibu Nyai Romlah wafat  dan di makamkan di pulau We Sumatra. Sesampainya di rumah KH.M Adlan Aly di panggil oleh  Hadrotus Syeh KH. Hasyim Asy’ariyang bermaksu menjodohkan dengan keponakanya yang bernama Nyai Hj. Halimah. Kurang lebih selama 40 tahun beliau menjadi istri KH.M. Dahlan Aly dan wafat pada tahun 1982 M. kemudian Romo Kyai menikah dengan Ibu Nyai Hj. Musyafa’ah Ahmad seorang Ustadzah dari desa keras Diwek  Jombang pada tahun 1982 M. Delapan tahun berikutnya Romo Kyai berpulang ke Rahmatulloh.
           Baik dengan Ibu Nyai Hj. Musyafa’ah, KH.M. Adlan Aly tidak di karuniai putra-putri.

KH.M.ADLAN ALY SEMASA PENJAJAHAN BELANDA
KH.M.Dahalan Aly semenjak kecil kurang lebih berusia 5 tahunbelajar agama Islam kepada pamannya yaitu KH.Fariq di pondok pesantren Maskumambang ,setelah berusia 14 tahun beliau belajar menghafal Al-Qur’an kedapa KH.Munawar Kauman Sedayu Gresik.Empat tahun kemudian beliau mengikuti kakaknya mondok di pesantren jombang .Setelah KH.Ma’shum Aly mendirikan pondok sendiri, yaitu pondok pesantren Seblak Diwek Jombang, KH.M.Dahlan Aly ikut pindah kesana walau tetap menuntut ilmu di Tebuireng.
Ketika H.M.Mahbub Aly membuat rumah di Cukir dan membuka toko kitab di muka pasar Cukir, KH.M.Adlan Aly diminta membantu kakaknya mengurusi toko.
    Selama di Cukir sekitar tahun 1926M. beliau bersama KH.Abdul Karim Gresik dan H.Sufri di panggil oleh Hadratus Syekh KH.Hasyim Asy’ari untuk membentuk  Pengurus  Ranting NU Diwek.                                                                                                                                                   
KH.M.ADLAN ALY PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG dan PASCANYA
KH.M.Adlan Aly bersama H.sufri aktif mengurus Mabarrot NU, yaitu membantu keluarga NU yang kena wajib  Romusha, dimana pada masa penjajahan jepang ini banyak pemuda yang dijadikan Romusha.Sementara keadaan ekonomi masyarakat serba kekurangan,baik makan maupun pakaian.Bahkan Romo Kyai pernah diambil Jepanguntuk Romusha dan semoat hilang selama empat hari,namun Alahmdulillah kembali lagi kerumah beliau.
Pasca Proklamasi 1945, tentara Belanda dengan membonceng tentara Inggris masihb ingin menjajah kembali , maka aktiflah beliau mengikuti barisan Sabilillah,juga ikut perang di Front garis depan sekitar sepanjang untuk membendung tentara Belanda yang bermaksud mengadakan terobosan keluar daerah Surabaya.
Disamping itu beliau menghimpun dana dari masyarakat agar mampu mencukupi persenjataan Hisbullah dan Sabilillah.
Kemerdekaan telah sepenuhnya dimiliki bangsa kita,beliau mulai memikirkan masalah pendidikan.Diketahui banyak anak putri tamatan Madrasah Ibtidaiyyah tidak dapat melanjutkan belajar keluar daerah karena keterbatasan biaya ,dimana khususnya daerah Cukir dan sekitarnya belum ada sekolah lanjutan setingkat SLTP dan SLTA .Akhirnya diadakan musyawarah dan sepakat mendirikan Madrasah Mu’allimat Cukir.karena kedatangan siswa-siswi dari luar, maka di bangunkanlah asrama di belakang rumah beliau.
Sebagai insan yang mempunyai jiwa pejuang ,maka beliau berjuang demi tanah air dan demi agama .Hal ini tercermin pada jabatan yang pernah disandangnya setelah Indonesia merdeka, antara lain :
  1. Rois Syuriah NU wilayah Jawa Timur
  2. Mustasyar NU wilayah Jawa Timur
  3. A’wan  Pengurus Besar NU
  4. Rois Syuriah cabang NU kabupaten Jomabang
  5. Anggota DPRD-II Kabupaten Jawa Timur ,hasil  pemilu  tahun 1987 fraksi Partai Persatuan Pembangunan bersama  K.H Syamsuri Baidlawi.
Selain itu beliau pernah menjadi Rois Am Jami’iyayah Ahliath-Thariqah Al –Mu’tabarah An-Nadiyyah pada Idaroh Aliyah ,Wusthan  Idaroh Syu’biyyah jomabang ,sekaligus menjadi Al-mursyid ath-Thariqah. 
 

Biografi K.H. As'ad Syamsul Arifin Situbondo

Kiai As’ad, yang rajin membaca dan berlangganan enam koran ditambah sebuah majalah mingguan berdarah Madura asli. Lahir tahur 1897 di Mekah ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji. Satu satunya adiknya, Abdurrahman juga lahir di kota suci itu dan bahkan menjadi hakim dan meninggal di Arab Saudi.
Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul Arifin, seorang ulama besar di Madura, K.H. As’ad ditaruh di Pesantren Sumber Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun, As’ad diajak ayahnya menyeberangi laut dan membabat hutan di sebelah timur Asembagus yang waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang, kecuali harimau dan ular berbisa,” kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan itu, mereka membangur permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo.
Pada usia 16 tahun, bersama seorang adiknya, Abdurrahman. As’ad dikirim kembali ke Mekah dengan harapan setelah pulang mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3 tahun bertahan di Mekah, ia kembali ke tanah air dan masih belajar di beberapa pesantren. Di berbagai pondok ini, bukan cuma agama yang dipelajari, juga ilmu silat, ilmu kanuragan.
As’ad juga pernah belajar di Pondok Tebuireng pimpinan K.H. Hasyim Asyari, dan menjadi kurir ulama ini menjelang lahirnya NU tahun 1929. Setelah NU berkembang, ia ternyata tak terpaku hanya pada NU. As’ad juga memasuki Sarekat Islam selama pernah menjadi anggota organisasi Penyedar yang didirikan Bung Karno. Di sinilah, As’ad kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di tengah gejolak perjuangan itu (1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah. Dan kini dikaruniai lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid, kini baru 14 tahun. Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya sembilan cucu serta tiga buyut.
Pesantren Sukorejo di bawah K.H. As’ad kini berkembang dengan pesat. Terletak di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur Kecamatan Asembagus. Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab Ahlan Wa Sahlan dan bahasa Inggris Welcome. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan gaya pesantren, juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas Ibrahimy. Santri yang mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung semua siswa (santri dan murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang. Kompleks ini dijuluki “kota santri”. Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri setiap saat terlihat main bola  memakai sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad membangun masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali dimaksudkan agar para santrl lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai seekor kuda putih warna kegemarannya. “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya tentang kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai pengganti. Namun, ada “kuda” lebih gesit yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu mobil kolt. Juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara seekor burung beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung itu memberi salam: assalamu’alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur sapa sang beo, biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan kata-kata assooiiii … Tapi burung beo itu pun, menurut santrl di sana, menyerukan Allahuakbar bila bergema suara azan. “Burung ini pemberian orang sebagai hadiah,” kata seorang pembantu Kiai As’ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa Timur ini. Termasuk Kiai As’ad sendiri. Pasalnya, adalah soal usia Kiai yang sudah cukup sepuh, sementara pewaris satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat muda. “Saya tak tega menyekolahkan Ahmad ke Arab Saudi, usianya masih muda – mungkin tiga tahun lagi,” ujar Kiai. “Sang putra mahkota”, walau tekun juga mengaji bersama teman sebayanya, kamarnya penuh dengan kaset, radio, televisi, bahkan video. Sebagai anak muda, “hampir setiap saat ia tenggelam dengan hiburan itu,” ujar seorang pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid memang disediakan kamar khusus yang jauh dari rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak beberapa waktu lalu telah ditunjuk K.H. Dhofir Munawar, menantu Kiai As’ad dari anak pertamanya, sebagai pengelola pesantren sehari-hari.
SETELAH menjadi anggota Konstituante (1959), ia tak lagi tergiur pada jabatan politik. Ia menolak jabatan yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi menteri agama di zaman Nasakom. Bahkan, sebagai ulama yang cukup terpandang di kalangan Nahdatul Ulama (NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk menjadi rois am, bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, agaknya memang hanya tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini bukan orang politik, saya ini orang pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu. Lebih-lebih karena pengalaman selama menjadi anggota Konstituante (1957-1959): selama itu pula pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As’ad menyembunyikan diri dari keriuhan politik dan hingar-bingar NU, yang sampai kini tak pernah selesai tuntas. Terbukti dari kegiatannya menerima tamu yang tak putus-putusnya. Banyak pengamat menilai, Kiai As’ad adalah salah seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani jika ada “ketegangan” antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU. Ketika ribut-ribut soal buku PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara, langsung menemui Pak Harto. “Bagaimana Pak, buku PMP ini ‘kan bisa merusak akidah umat Islam,” kata Kiai mengulang pembicaraan yang sudah setahun lebih itu. Berbicara begitu, Kiai As’ad memberi beberapa contoh yang semestinya dikoreksi. Pak Harto, menurut Kiai, berjanji akan menyelesaikannya. “Ternyata buku itu akhirnya disempurnakan,” kata Kiai, yang sudah 15 kali ke Mekah.
Di saat ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus, untuk kesekian kalinya, Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana. Pertemuan itu, yang dihadiri juga oleh Menteri Agama K.H. Munawir Syadzali yang direncanakan cuma 15 menit, mekar menjadi 1 jam. Kepada Presiden ditegaskan pendirian NU yang menerima Pancasila. “Ini penting ditegaskan, karena NU sejak semula berlandaskan Pancasila dan UUD 45,” tuturnya. Presiden, menurut Kiai, manggut-manggut. Bahkan Kiai As’ad lebih menegaskan, “Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolaknya. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid dan Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut NU, Rois Am K.H. Ali Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya, mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah” penyelesaian kericuhan setelah K.H. Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan PBNU, menyatakan mundur – tapi kemudian mencabut pernyataan itu.
Di pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan berukuran 3 x 6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri pria itu tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu boleh berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang sudah dianggap keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di rumah yang lebih bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang berukuran sekitar 30 m2 yang digelari permadani untuk tamu yang ingin bermalam, atau terpaksa bermalam, menanti giliran menemui Kiai, yang semua gigi atasnya sudah tanggal.
Di pesantren seluas 7 hektar inilah nanti, November 1983, akan berlangsung Musyawarah Nasional NU. Untuk itu, semua biaya ditanggung pesantren pimpinan Kiai As’ad ini. Warga NU di Situbondo dan Bondowoso langsung terlibat. “Akan saya perintahkan untuk menyumbang beras satu kilogram setiap orang,” kata Kiai. Beras itu dimaksudkan untuk konsumsi peserta musyawarah nasional yang diperkirakan lebih dari seribu orang. Kiai yang tampak sehat ini tak menjelaskan agenda munas itu. 
Sumber: Majalah TEMPO

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy


KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau pernah mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.
Berikut silsilahnya : Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
 Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
Pedulikah Akhi-Ukhti (Alumni) terhadap PP. Manbaul Hikam Putat?
Sangat Peduli0%
Peduli 0%
Tidak Peduli 0%
Biasa Aja0%

Popular Posts

Unit Pendidikan

Followers

Kontributor

Random Post

Flag Counter

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *