HAKIKAT MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN
(Telaah Hakikat Manusia Dalam Rangka Reorientasi
Pendidikan Islam)
A. Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Allah Swt di tengah dan di antara ciptaan-Nya yang lain, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa. Keberadaan manusia di muka bumi ini adalah atas kehendak Allah, mulai dari saat diturunkan Nabi Adam as. sebagai bapak dan Hawa sebagai ibu semua manusia dari surga. Diturunkan ke muka bumi karena melanggar atau tidak mematuhi perintah Allah, sebagai akibat dari memperturutkan godaan iblis yang terkutut. Jadi Nabi Adam as dan Hawa istrinya diciptakan di surga, sedangkan anak cucunya semua diciptakan di muka bumi.
Untuk mewujudkan hidup dan kehidupan dirinya secara manusiawi, sesuai dengan kondisi penciptaannya dan tuntunan Allah pada semua manusia yang diciptakan-Nya, semua perlu mengenali dan memahami hakikat dirinya. Pengenalan dan pemahaman itu akan mengantarkan pada kesediaan mencari arti kehidupan, agar tidak menjadi sia-sia, baik selama menjadi makhluk penghuni bumi maupun dalam kehidupannya yang kekal di akhirat nanti. Hal itu penting, karena agar manusia dalam menjalankan hak dan kewajibannya atas kebebasan dan tanggung jawabnya diridhai Allah Swt.
Berbicara tentang hakikat manusia, pada dasarnya membicarakan tentang pokok soal yang bersifat radikal, yaitu berusaha menemukan akar pengertian tentang manusia, yang mungkin saja melewati batas-batas pengertian yang hanya menekankan pada salah satu aspek kehidupan, seperti yang terdapat dalam kajian berbagai ilmu, umpamanya antropologi, psikologi dan sosiologi. Hakikat manusia adalah sesuatu yang sangat vital yang menentukan kehidupannya di tengah kancah perubahan masyarakat. Hakikat manusia dimaksudkan adalah kondisi sebenarnya atau intisari yang mendasar tentang keberadaan makhluk yang berasal dari (keturunan) Adam dan Hawa.
Dengan demikian, pencarian tentang hakikat manusia tidak bisa hanya terpaku pada pemikiran tentang sesuatu yang menjadi unsur pokok yang menentukan dirinya, seperti dalam pandangan materialisme (serba materi) yang hanya memandang bahwa unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia itu adalah materi. Sebaliknya dalam pandangan spiritualisme (serba ruh) yang menetapkan bahwa unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia itu adalah rohani. Di samping itu, pencarian tentang hakikat manusia tidaklah cukup hanya berhenti pada pandangan untuk menjelaskan tentang unsur pokok yang secara internal ada dalam dirinya maupun apa yang dimilikinya yang sesungguhnya bersifat eksternal. Hakikat manusia, menurut Ernat Cassirer dalam bukunya An Essay on Man sebagaimana yang dikutip oleh Musa Asy’arie, tidak tergantung oleh keadaan-keadaan dari luar, hal itu semata-mata tergantung pada nilai yang diberikannya pada dirinya sendiri. Kekayaan, pangkat, perbedaan sosial, bahkan kesehatan atau kepandaian itu semuanya tidak pokok. Satu-satunya persoalan adalah kecenderungan sikap yang terdalam pada jiwa dan prinsip yang terdalam ini tidak pernah dapat dihancurkan.
Senada dengan hal tersebut di atas, Hadawi Nawawi menjelaskan bahwa berpikir tentang hakikat manusia itu tidak dapat sekedar disandarkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta yang tampak atau yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Dengan kata lain, berpikir tentang hakikat manusia itu tidak boleh sekedar bersifat empiris, karena banyak aspeknya yang bersifat abstrak dan tidak dapat disentuh dengan panca indera manusia yang bersifat terbatas. Namun pengalaman-pengalaman kongkrit perlu juga digunakan dalam proses berpikir untuk memahami tentang hakikat manusia. Dengan kata lain, untuk mendalami hakikat manusia dapat dilakukan baik secara apriori maupun secara apostriori. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk memahami dan mendalami hakikat manusia, harus dilakukan melalui proses berpikir filsafat, dengan tidak mengabaikan fakta-fakta atau pengalaman kongkrit dalam kehidupan manusia. Berpikir filsafat diartikan sebagai perenungan yang dilakukan secara mendalam, mendasar (fundamental) dan tertib tentang sesuatu. Proses itu dibatasi oleh bukti-bukti empiris, tetapi disandarkan pada akal sehat (common sense). Segala sesuatu yang dipikirkan secara filsafat akan diterima kebenarannya, apabila dapat dipahami dan dimengerti oleh akal manusia. Oleh karena akal manusia itu bersifat terbatas, maka kebenaran yang dapat dipahaminya itu dapat keliru atau salah. Oleh karena itulah diperlukan kendali iman kepada Allah Swt dengan semua petunjuk dan ajaran-Nya. Iman digunakan sebagai pengendali dala berpikir secara filosofis itu akan menuntut pada kemampuan akal yang hanya akan menerima kebenaran sesuatu yang akan dipikirkan, apabila tidak bertentangan dengan tuntunan Islam sebagai agama yang benar. Dimana hasilnya nanti diharapkan akan dapat dimanfaatkan untuk memberikan makna bagi kehidupan yang dijalankan dan dijalani semata-mata untuk memperoleh ridha Allah Swt.
Demikian juga menurut Musa Asy’arie, bahwa untuk memahami dan menentukan hakikat manusia itu diperlukan suatu sandaran pemikiran yang lebih mendasar, suatu sandaran yang dapat membawa ke arah pemahaman yang lebih mendasar, suatu sandaran yang berbeda pada tingkatan yang lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia. Sandaran yang lebih kuat dan jauh lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia itu tidak lain adalah wahyu atau firman-firman Tuhan. Di mana sandaran itu sangat diperlukan karena keterbatasan akal manusia dalam memahami dan menentukan hakikat dirinya, mengingat manusia secara individual tidak pernah terlibat sedikitpun dalam proses penciptaan dirinya, ia lahir dari suatu proses yang berada di luar kekuasaannya, ia adalah ciptaan belaka. Dengan sandaran wahyu Ilahi yang tersurat dalam kitab suci (Al-Qur'an), maka manusia diharapkan dapat memahami hakikat dirinya melalui petunjuk Tuhan yang menciptakannya. Karena pengetahuan yang paling lengkap dan benar tentang sebuah ciptaan adalah pengetahuan yang datang dari penciptanya, karena dialah yang paling tahu tentang makna dan keberadaan sebuah ciptaan.
B. Pembahasan
Dalam kaitannya dengan manusia dalam Al-Qur'an, berikut akan diuraikan beberapa ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan hal tersebut, dan untuk menemukan hakikat manusia yang sebenarnya. Surat al-Taubah (9) ayat 105 menyatakan bahwa :
(QS. al-Taubah [9]: 105).
Ayat ini menyatakan secara tegas bahwa yang menentukan eksistensi baik di hadapan Tuhannya, RasulNya maupun bagi orang yang beriman di antaranya adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diperbuatnya. Karena pekerjaan atau tindakan manusia itu merupakan manifestasi sepenuhnya dari dirinya, mewakili citra dirinya dan menjadi ukuran untuk menilai dirinya.
Selanjutnya Al-Qur'an menegaskan :
(QS. al-Zumar [39]: 39-40).
Ayat tersebut menjelaskan tentang perbuatan manusia dalam kaitannya dengan realitas sosial, dimana dalam kehidupan masyarakat akan terdapat perbedaan tingkat kehidupan, yang tercermin akan adanya berbagai kedudukan sosial seseorang. Dalam hal ini, Al-Qur'an menganjurkan kepada manusia untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat. Ini berarti Al-Qur'an selain mengakui adanya perbedaan tingkat kedudukan sosial seseorang, yang satu berbeda dengan yang lain, juga menyatakan bahwa setiap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat itu menuntut suatu kualitas perbuatan atau tindakan yang sesuai dengan kedudukannya.
Dalam ayat lain dinyatakan bahwa :
(QS. al-Isra’ [17]: 84).
Ayat tersebut menjelaskan hubungan perbuatan manusia dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam kehidupan masyarakat, terdapat perbedaan kemampuan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan kemampuan itu mungkin dimiliki secara alamiah atau perbedaan tingkat pendidikan dalam lingkungan kebudayaan. Perbedaan kemampuan yang pertama, seperti kemampuan perempuan untuk melahirkan anak, sedangkan perbedaan kemampuan yang kedua seperti seorang arsitek yang dapat merancang suatu konstruksi bangunan yang berbeda dengan seorang ekonom yang hanya mampu merancang suatu bidang kegiatan ekonomi.
Anjuran Al-Qur'an untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuan pada dasarnya dapat dianggap sebagai anjuran yang bermakna etik, karena seseorang yang berbuat yang tidak sesuai dengan kemampuannya, seringkali berakibat negatif, mencelakakan dirinya sendiri. Seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat, bahwa seseorang menderita oleh pekerjaannya, bahkan nyaris gagal total, dan hal ini seringkali disebabkan oleh ketidak-mampuannya atau ketidaktahuannya atas kemampuannya atau juga karena ia memaksakan diri untuk berbuat di luar kemampuannya.
Selanjutnya Al-Qur'an menyatakan :
(QS. Hud [11]: 7).
Ayat ini juga menegaskan bahwa betapa pentingnya mencari ‘amal bagi kehidupan manusia di dunia ini, karena kehidupan ini sesungguhnya menjadi kancah manusia dalam pengujian seluruh amal perbuatannya. Dimana lulus tidaknya dalam ujian ini, sepenuhnya ditentukan oleh kualitas amal perbuatannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Bakriy bahwa dalam pandangan Islam, manusia hanya diukur dan dinilai dari amal perbuatannya, apakah perbuatan itu baik (sesuai dengan ajaran Islam) atau buruk. Manusia sama sekali tidak dinilai dari asal keturunannya, kedudukannya, harta/kekayaannya, dan tidak pula dari keindahan parasnya.
Selanjutnya Al-Qur'an mengatakan :
(QS. Fushshilat [41]: 40).
Dalam hubungan dengan ujian terhadap amal perbuatan manusia, Al-Qur'an menegaskan bahwa adanya kebebasan untuk berbuat. Kebebasan ini dimaksudkan agar amal perbuatan manusia itu mempunyai makna, karena tanpa adanya kebebasan tentunya ujian terhadap amal perbuatan manusia itu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, amal perbuatan manusia pada hakikatnya adalah manusia sendiri yang sepenuhnya menentukan dan tidak ada campur tangan Tuhan sedikitpun di dalamnya, karena bila ada campur tangan Tuhan dalam amal perbuatan manusia, maka tentunya amal perbuatan itu tidak hanya menjadi ujian bagi manusia sendiri. Tetapi, di atas kebebasan itu diletakkan tanggung jawab, agar kebebasan yang diberikan pada manusia dalam segala amal perbuatannya itu tidak berarti kesewenang-wenanagn atas amal perbuatannya. Dalam huhb ini Al-Qur'an mengatakan :
(QS. al-Nur [24]: 23-25).
Bentuk pertanggungjawaban itu adalah balasan yang setimpal dan adil sesuai dengan kualitas amal perbuatan manusia, yang akan diberikan Tuhan kepada manusia yang diuji amal perbuatannya. Kebebasan itu tidaklah dapat dipisahkan dengan tanggung jawab. Dengan kata lain, kebebasan amal perbuatan manusia itu tidaklah dapat dipisahkan dengan nilai moral yang memberikan penghargaan tinggi adanya tanggung jawab. Dalam hubungan ini Al-Qur'an mengatakan :
(QS. Al-Kahfi [18]: 110).
Ayat 110 surat al-Kahfi tersebut menjelaskan bahwa posisi Al-Qur'an yang berpihak untuk menegakkan hukum moral, sehingga Tuhan hanya dapat ditemui dengan amal perbuatan yang baik. Jadi, dengan demikian pertemuan manusia dengan Tuhan hanya dapat dilakukan dengan amal perbuatan nyata yang sesuai dengan nilai-nilai moral.
Dalam Lisan al-Arab ditegaskan bahwa amal itu adalah al-fi’li artinya pekerjaan atau al-mihnah artinya pengabdian. Kadang-kadang dibedakan antara ‘amal dengan i’timal; amal dikatakan sebagai aktifitas yang tidak terkait dengan kepentingan diri sendiri, sedangkan i’timal adalah aktifitas yang terkait dengan kepentingan diri sendiri. Menurut Ibn Atsir, jika kata amal yang berkedudukan sebagai fi’il dibaca ‘ammala maka bermakna walla artinya menguasai atau menjadikan sesutu. Sedangkan menurut Fakhr al-Din Muhammad al-Razi dalam Tafsir al-Fakrh al-Razi, dikatakan bahwa apa yang disebut amal itu mempunyai dua bagian, yaitu al-qalb dan ‘amal al-jawarih. Amal al-qalb yaitu pekerjaan qalbu (hari), secara berpikir, berkehendak dan membenci. Sedangkan amal al-jawarih yaitu pekerjaan dan perbuatan dari anggota tubuh manusia yang tampak dalam gerak atau diam.
Dari pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa amal pada dasarnya dapat dipandang dari dua tahap, yaitu tahap gagasan (pemikiran dan kesadaran) dan tahap gerak tubuh yang melahirkan tindakan kongkrit dalam realitas kehidupan. Dimana tahap gagasan ini berada pada dimensi akal manusia (yaitu ketika manusia disebut sebagai insan). Sedangkan tahap tindakan itu berada pada dimensi lahiriah manusia (yaitu ketika manusia disebut sebagai basyar). Kesatuan dari gagasan dan tindakan dalam realitas kehidupan dapat dipandang sebagai suatu proses pembentukan suatu kebudayaan, khususnya dalam bidang pendidikan; yang merupakan kesatuan khalifah dan ‘abd.
Pada tahap kesatuan gagasan dan tindakan atau aktualisasinya terdapat kaitan dengan etika. Oleh karena itu, tindakan yang tidak didasarkan pada kesadaran berpikir sesungguhnya tidak dapat dinilai secara etik.
Dari beberapa ayat yang tersebut di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan Al-Qur'an, amal perbuatan manusia itulah yang menentukan arti hidupnya, baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia. Pada amal perbuatan manusia inilah terletak hakikat manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Musa Asy’arie bahwa hakikat manusia dalam pandangan Al-Qur'an terletak pada amal perbuatannya, bukan pada unsur pokok yang membentuk dirinya yaitu jasad, hayat dan ruh.
Amal dalam pandangan Al-Qur'an itu mempunyai arti yang amat luas, yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di dunia ini dan bukan semata-mata kegiatan peribadatan formal (mahdhah) seperti yang diatur dalam kehidupan beragama, seperti shalat, zakat, puasa dan haji.
Amal dalam hubungan ini adalah merupakan wujud penjelmaan kesatuan diri (nafs); yang merupakan kesatuan jasad, hayat dan ruh yang menjelma dalam perbuatan nyata, yaitu perbuatan nyata dari manusia yang menjadi hamba Allah (‘abd Allah) yang bertugas membentuk kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh), khususnya dalam bidang pendidikan. Dimana menurut Abu Bakar Muhammad tugas manusia sebagai khalifah di bumi ini meliputi tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga dan dalam masyarakat. Tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri yang paling pokok adalah dalam menuntut ilmu pengetahuan dan menghiasi diri dengan akhlak yang muliah; tugas kekhalifahan dalam rumah tangga dengan cara membentuk keluarga bahagia, menyadari tugas dalam rumah tangga bagi suami isteri; dan tugas kekhalifahan dalam masyarakat yang pokok adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan-golongan yang lemah.
Pandangan tauhid Al-Qur'an dalam konsep antropologis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Musa Asy’arie adalah terletak dalam pandangan atas kesatuan manusia dalam diri yang disebut Al-Qur'an dengan kata nafs, kesatuan diri dari unsur-unsur jasad, hayat dan ruh. Kesatuan diri itu terjelma dalam amal perbuatan, yang merupakan wujud dari kesatuan kedudukan manusia sebagai hamba Allah yang bertugas menciptakan dan membuat seluruh ciptaan-Nya menuju penciptaan itu di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Dimana manifestasi amal perbuatan seorang hamba Allah adalah ketaatan dan kepatuhan yang ikhlas atas segala perintah Allah, kepada hukum-hukum Allah yang mengatur ciptaan-Nya, yang menjadi sunnah Allah dan ketulusannya beribadah kepada-Nya, yang secara formal diatur dalam kehidupan keberagamaan.
Sedangkan manifestasi amal perbuatan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi adalah ketekunannya mengembangkan konsep-konsep dalam realitas kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, dimana unsur yang paling penting dalam kebudayaan adalah pendidikan.
Jadi, hakikat manusia adalah amalnya, karyanya dan dalam karyanya terjelma nilai-nilai kemanusiaan. Manusia menampakkan dirinya secara nyata dalam karyanya, dalam wujud kebudayaan secara umum dan pendidikan secara khusus. Di mana kebudayaan merupakan penjelmaan kesatuan eksistensi diri manusia sebagai hamba Allah adalah karya nyata dari manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dalam karyanya, totalitas diri (jasad, hayat dan ruh) manusia menyatu secara nyata dan dinamis. Melalui karyanya, kualitas kemanusiaan akan dilihat oleh Allah dan utusan-Nya serta orang-orang yang beriman. Dan hanya melalui amal atau karya yang baik, manusia akan dapat menemui Tuhannya.
C. Analisa
Banyak pakar yang telah menghabiskan waktunya dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mencari, memikirkan dan memahami hakikat manusia. Dimana antara pakar yang satu dengan yang lainnya saling berbeda dalam berpendapat dan dalam memahami hakikat manusia, yang tentunya sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing.
Menurut Ali Yafie, manusia adalah makhluk yang tertinggi derajatnya yang diciptakan Tuhan (terbaik), makhluk yang terhormat atau termulia, makhluk individu dan sosial, makhluk bumi dan pengemban amanat. Kemudian beliau juga mengutip pendapat para pakar disiplin ilmu, misalnya: para ahli logika menyatakan bahwa manusia adalah hewan cerdas (hayawan nathiq) yang mampu berpikir, mampu merumuskan pikirannya secara lisan dan tulisan serta mampu mengkomunikasikan apa yang dipikirkannya; menurut ahli biologi, manusia adalah hewan menyusui (anthropomorphem); menurut ahli sosiologi, manusia adalah makhluk sosial yang berbudaya (al-insan madani bi al-thaba’i); para ahli ekonomi menyebut manusia sebagai makhluk yang takluk pada tata ekonomi dan bersifat ekonomis (homo economicus); dan ada yang menyebut manusia itu adalah makhluk pembuat perkakas (tool making animal). Hal ini senada dengan pendapat Syahminan Zaini, dan A. Malik Fadjar dan Abdul Ghafur, yang dalam uraian selanjutnya ia menerangkan bahwa manusia itu juga merupakan makhluk atau binatang yang dapat dididik dan harus dididik (homo educable, homo educantum), binatang yang bermasyarakat (zoon politicon). Ia menjelaskan bahwa manusia itu adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi, paling sempurna dan makhluk yang paling unik, berkemauan bebas, diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, bersifat hanif, dan sebagai khalifah di muka bumi ini serta sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa manusia itu berunsurkan jasmani dan rohani (jasad dan ruh), makhluk yang beragam, makhluk yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, makhluk yang utuh yang terdiri atas jasmani, akal dan rohani sebagai potensi pokok. Demikian juga menurut Oemar Muhammad al-Taumi al-Syaibany sebagaimana yang dikutip oleh Zakiyah Daradjat, bahwa manusia itu terdiri dari delapan prisip, yaitu: kepercayaan bahwa manusia itu makhluk yang termulia, kepercayaan akan kemuliaan manusia, hewan yang berpikir, manusia mempunyai tiga dimensi, yaitu badan, akal dan ruh; manusia dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan, mempunyai motivasi dan kebutuhan, adanya perbedaan perseorangan di antara manusia, dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai keluasan sifat dan selalu berubah. Dan masih banyak lagi pendapat para pakar tentang manusia.
D. Penutup
Hakikat manusia dalam pandangan para pakar sangat subyektif, berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.
Hakikat manusia dalam Al-Qur'an adalah amal perbuatannya, dimana sebagai khalifah Allah di muka bumi ia memerankan diri sebagai pencipta yaitu dengan menciptakan kebudayaan untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama. Amal perbuatan manusia merupakan wujud penjelmaan kesatuan diri (nafs) yang merupakan kesatuan jasad, hayat dan ruh. Kesatuan diri itu menjelma dalam perbuatan nyata, yaitu perbuatan nyata dari manusia yang menjadi hamba Allah (‘abd Allah) yang bertugas membentuk kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh), khususnya dalam bidang pendidikan.
Dalam pelaksanaan pendidikan, manusia harus diarahkan kepada pembentukan pribadi yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh.
(Telaah Hakikat Manusia Dalam Rangka Reorientasi
Pendidikan Islam)
A. Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Allah Swt di tengah dan di antara ciptaan-Nya yang lain, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa. Keberadaan manusia di muka bumi ini adalah atas kehendak Allah, mulai dari saat diturunkan Nabi Adam as. sebagai bapak dan Hawa sebagai ibu semua manusia dari surga. Diturunkan ke muka bumi karena melanggar atau tidak mematuhi perintah Allah, sebagai akibat dari memperturutkan godaan iblis yang terkutut. Jadi Nabi Adam as dan Hawa istrinya diciptakan di surga, sedangkan anak cucunya semua diciptakan di muka bumi.
Untuk mewujudkan hidup dan kehidupan dirinya secara manusiawi, sesuai dengan kondisi penciptaannya dan tuntunan Allah pada semua manusia yang diciptakan-Nya, semua perlu mengenali dan memahami hakikat dirinya. Pengenalan dan pemahaman itu akan mengantarkan pada kesediaan mencari arti kehidupan, agar tidak menjadi sia-sia, baik selama menjadi makhluk penghuni bumi maupun dalam kehidupannya yang kekal di akhirat nanti. Hal itu penting, karena agar manusia dalam menjalankan hak dan kewajibannya atas kebebasan dan tanggung jawabnya diridhai Allah Swt.
Berbicara tentang hakikat manusia, pada dasarnya membicarakan tentang pokok soal yang bersifat radikal, yaitu berusaha menemukan akar pengertian tentang manusia, yang mungkin saja melewati batas-batas pengertian yang hanya menekankan pada salah satu aspek kehidupan, seperti yang terdapat dalam kajian berbagai ilmu, umpamanya antropologi, psikologi dan sosiologi. Hakikat manusia adalah sesuatu yang sangat vital yang menentukan kehidupannya di tengah kancah perubahan masyarakat. Hakikat manusia dimaksudkan adalah kondisi sebenarnya atau intisari yang mendasar tentang keberadaan makhluk yang berasal dari (keturunan) Adam dan Hawa.
Dengan demikian, pencarian tentang hakikat manusia tidak bisa hanya terpaku pada pemikiran tentang sesuatu yang menjadi unsur pokok yang menentukan dirinya, seperti dalam pandangan materialisme (serba materi) yang hanya memandang bahwa unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia itu adalah materi. Sebaliknya dalam pandangan spiritualisme (serba ruh) yang menetapkan bahwa unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia itu adalah rohani. Di samping itu, pencarian tentang hakikat manusia tidaklah cukup hanya berhenti pada pandangan untuk menjelaskan tentang unsur pokok yang secara internal ada dalam dirinya maupun apa yang dimilikinya yang sesungguhnya bersifat eksternal. Hakikat manusia, menurut Ernat Cassirer dalam bukunya An Essay on Man sebagaimana yang dikutip oleh Musa Asy’arie, tidak tergantung oleh keadaan-keadaan dari luar, hal itu semata-mata tergantung pada nilai yang diberikannya pada dirinya sendiri. Kekayaan, pangkat, perbedaan sosial, bahkan kesehatan atau kepandaian itu semuanya tidak pokok. Satu-satunya persoalan adalah kecenderungan sikap yang terdalam pada jiwa dan prinsip yang terdalam ini tidak pernah dapat dihancurkan.
Senada dengan hal tersebut di atas, Hadawi Nawawi menjelaskan bahwa berpikir tentang hakikat manusia itu tidak dapat sekedar disandarkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta yang tampak atau yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Dengan kata lain, berpikir tentang hakikat manusia itu tidak boleh sekedar bersifat empiris, karena banyak aspeknya yang bersifat abstrak dan tidak dapat disentuh dengan panca indera manusia yang bersifat terbatas. Namun pengalaman-pengalaman kongkrit perlu juga digunakan dalam proses berpikir untuk memahami tentang hakikat manusia. Dengan kata lain, untuk mendalami hakikat manusia dapat dilakukan baik secara apriori maupun secara apostriori. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk memahami dan mendalami hakikat manusia, harus dilakukan melalui proses berpikir filsafat, dengan tidak mengabaikan fakta-fakta atau pengalaman kongkrit dalam kehidupan manusia. Berpikir filsafat diartikan sebagai perenungan yang dilakukan secara mendalam, mendasar (fundamental) dan tertib tentang sesuatu. Proses itu dibatasi oleh bukti-bukti empiris, tetapi disandarkan pada akal sehat (common sense). Segala sesuatu yang dipikirkan secara filsafat akan diterima kebenarannya, apabila dapat dipahami dan dimengerti oleh akal manusia. Oleh karena akal manusia itu bersifat terbatas, maka kebenaran yang dapat dipahaminya itu dapat keliru atau salah. Oleh karena itulah diperlukan kendali iman kepada Allah Swt dengan semua petunjuk dan ajaran-Nya. Iman digunakan sebagai pengendali dala berpikir secara filosofis itu akan menuntut pada kemampuan akal yang hanya akan menerima kebenaran sesuatu yang akan dipikirkan, apabila tidak bertentangan dengan tuntunan Islam sebagai agama yang benar. Dimana hasilnya nanti diharapkan akan dapat dimanfaatkan untuk memberikan makna bagi kehidupan yang dijalankan dan dijalani semata-mata untuk memperoleh ridha Allah Swt.
Demikian juga menurut Musa Asy’arie, bahwa untuk memahami dan menentukan hakikat manusia itu diperlukan suatu sandaran pemikiran yang lebih mendasar, suatu sandaran yang dapat membawa ke arah pemahaman yang lebih mendasar, suatu sandaran yang berbeda pada tingkatan yang lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia. Sandaran yang lebih kuat dan jauh lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia itu tidak lain adalah wahyu atau firman-firman Tuhan. Di mana sandaran itu sangat diperlukan karena keterbatasan akal manusia dalam memahami dan menentukan hakikat dirinya, mengingat manusia secara individual tidak pernah terlibat sedikitpun dalam proses penciptaan dirinya, ia lahir dari suatu proses yang berada di luar kekuasaannya, ia adalah ciptaan belaka. Dengan sandaran wahyu Ilahi yang tersurat dalam kitab suci (Al-Qur'an), maka manusia diharapkan dapat memahami hakikat dirinya melalui petunjuk Tuhan yang menciptakannya. Karena pengetahuan yang paling lengkap dan benar tentang sebuah ciptaan adalah pengetahuan yang datang dari penciptanya, karena dialah yang paling tahu tentang makna dan keberadaan sebuah ciptaan.
B. Pembahasan
Dalam kaitannya dengan manusia dalam Al-Qur'an, berikut akan diuraikan beberapa ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan hal tersebut, dan untuk menemukan hakikat manusia yang sebenarnya. Surat al-Taubah (9) ayat 105 menyatakan bahwa :
(QS. al-Taubah [9]: 105).
Ayat ini menyatakan secara tegas bahwa yang menentukan eksistensi baik di hadapan Tuhannya, RasulNya maupun bagi orang yang beriman di antaranya adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diperbuatnya. Karena pekerjaan atau tindakan manusia itu merupakan manifestasi sepenuhnya dari dirinya, mewakili citra dirinya dan menjadi ukuran untuk menilai dirinya.
Selanjutnya Al-Qur'an menegaskan :
(QS. al-Zumar [39]: 39-40).
Ayat tersebut menjelaskan tentang perbuatan manusia dalam kaitannya dengan realitas sosial, dimana dalam kehidupan masyarakat akan terdapat perbedaan tingkat kehidupan, yang tercermin akan adanya berbagai kedudukan sosial seseorang. Dalam hal ini, Al-Qur'an menganjurkan kepada manusia untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat. Ini berarti Al-Qur'an selain mengakui adanya perbedaan tingkat kedudukan sosial seseorang, yang satu berbeda dengan yang lain, juga menyatakan bahwa setiap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat itu menuntut suatu kualitas perbuatan atau tindakan yang sesuai dengan kedudukannya.
Dalam ayat lain dinyatakan bahwa :
(QS. al-Isra’ [17]: 84).
Ayat tersebut menjelaskan hubungan perbuatan manusia dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam kehidupan masyarakat, terdapat perbedaan kemampuan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan kemampuan itu mungkin dimiliki secara alamiah atau perbedaan tingkat pendidikan dalam lingkungan kebudayaan. Perbedaan kemampuan yang pertama, seperti kemampuan perempuan untuk melahirkan anak, sedangkan perbedaan kemampuan yang kedua seperti seorang arsitek yang dapat merancang suatu konstruksi bangunan yang berbeda dengan seorang ekonom yang hanya mampu merancang suatu bidang kegiatan ekonomi.
Anjuran Al-Qur'an untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuan pada dasarnya dapat dianggap sebagai anjuran yang bermakna etik, karena seseorang yang berbuat yang tidak sesuai dengan kemampuannya, seringkali berakibat negatif, mencelakakan dirinya sendiri. Seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat, bahwa seseorang menderita oleh pekerjaannya, bahkan nyaris gagal total, dan hal ini seringkali disebabkan oleh ketidak-mampuannya atau ketidaktahuannya atas kemampuannya atau juga karena ia memaksakan diri untuk berbuat di luar kemampuannya.
Selanjutnya Al-Qur'an menyatakan :
(QS. Hud [11]: 7).
Ayat ini juga menegaskan bahwa betapa pentingnya mencari ‘amal bagi kehidupan manusia di dunia ini, karena kehidupan ini sesungguhnya menjadi kancah manusia dalam pengujian seluruh amal perbuatannya. Dimana lulus tidaknya dalam ujian ini, sepenuhnya ditentukan oleh kualitas amal perbuatannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Bakriy bahwa dalam pandangan Islam, manusia hanya diukur dan dinilai dari amal perbuatannya, apakah perbuatan itu baik (sesuai dengan ajaran Islam) atau buruk. Manusia sama sekali tidak dinilai dari asal keturunannya, kedudukannya, harta/kekayaannya, dan tidak pula dari keindahan parasnya.
Selanjutnya Al-Qur'an mengatakan :
(QS. Fushshilat [41]: 40).
Dalam hubungan dengan ujian terhadap amal perbuatan manusia, Al-Qur'an menegaskan bahwa adanya kebebasan untuk berbuat. Kebebasan ini dimaksudkan agar amal perbuatan manusia itu mempunyai makna, karena tanpa adanya kebebasan tentunya ujian terhadap amal perbuatan manusia itu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, amal perbuatan manusia pada hakikatnya adalah manusia sendiri yang sepenuhnya menentukan dan tidak ada campur tangan Tuhan sedikitpun di dalamnya, karena bila ada campur tangan Tuhan dalam amal perbuatan manusia, maka tentunya amal perbuatan itu tidak hanya menjadi ujian bagi manusia sendiri. Tetapi, di atas kebebasan itu diletakkan tanggung jawab, agar kebebasan yang diberikan pada manusia dalam segala amal perbuatannya itu tidak berarti kesewenang-wenanagn atas amal perbuatannya. Dalam huhb ini Al-Qur'an mengatakan :
(QS. al-Nur [24]: 23-25).
Bentuk pertanggungjawaban itu adalah balasan yang setimpal dan adil sesuai dengan kualitas amal perbuatan manusia, yang akan diberikan Tuhan kepada manusia yang diuji amal perbuatannya. Kebebasan itu tidaklah dapat dipisahkan dengan tanggung jawab. Dengan kata lain, kebebasan amal perbuatan manusia itu tidaklah dapat dipisahkan dengan nilai moral yang memberikan penghargaan tinggi adanya tanggung jawab. Dalam hubungan ini Al-Qur'an mengatakan :
(QS. Al-Kahfi [18]: 110).
Ayat 110 surat al-Kahfi tersebut menjelaskan bahwa posisi Al-Qur'an yang berpihak untuk menegakkan hukum moral, sehingga Tuhan hanya dapat ditemui dengan amal perbuatan yang baik. Jadi, dengan demikian pertemuan manusia dengan Tuhan hanya dapat dilakukan dengan amal perbuatan nyata yang sesuai dengan nilai-nilai moral.
Dalam Lisan al-Arab ditegaskan bahwa amal itu adalah al-fi’li artinya pekerjaan atau al-mihnah artinya pengabdian. Kadang-kadang dibedakan antara ‘amal dengan i’timal; amal dikatakan sebagai aktifitas yang tidak terkait dengan kepentingan diri sendiri, sedangkan i’timal adalah aktifitas yang terkait dengan kepentingan diri sendiri. Menurut Ibn Atsir, jika kata amal yang berkedudukan sebagai fi’il dibaca ‘ammala maka bermakna walla artinya menguasai atau menjadikan sesutu. Sedangkan menurut Fakhr al-Din Muhammad al-Razi dalam Tafsir al-Fakrh al-Razi, dikatakan bahwa apa yang disebut amal itu mempunyai dua bagian, yaitu al-qalb dan ‘amal al-jawarih. Amal al-qalb yaitu pekerjaan qalbu (hari), secara berpikir, berkehendak dan membenci. Sedangkan amal al-jawarih yaitu pekerjaan dan perbuatan dari anggota tubuh manusia yang tampak dalam gerak atau diam.
Dari pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa amal pada dasarnya dapat dipandang dari dua tahap, yaitu tahap gagasan (pemikiran dan kesadaran) dan tahap gerak tubuh yang melahirkan tindakan kongkrit dalam realitas kehidupan. Dimana tahap gagasan ini berada pada dimensi akal manusia (yaitu ketika manusia disebut sebagai insan). Sedangkan tahap tindakan itu berada pada dimensi lahiriah manusia (yaitu ketika manusia disebut sebagai basyar). Kesatuan dari gagasan dan tindakan dalam realitas kehidupan dapat dipandang sebagai suatu proses pembentukan suatu kebudayaan, khususnya dalam bidang pendidikan; yang merupakan kesatuan khalifah dan ‘abd.
Pada tahap kesatuan gagasan dan tindakan atau aktualisasinya terdapat kaitan dengan etika. Oleh karena itu, tindakan yang tidak didasarkan pada kesadaran berpikir sesungguhnya tidak dapat dinilai secara etik.
Dari beberapa ayat yang tersebut di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan Al-Qur'an, amal perbuatan manusia itulah yang menentukan arti hidupnya, baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia. Pada amal perbuatan manusia inilah terletak hakikat manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Musa Asy’arie bahwa hakikat manusia dalam pandangan Al-Qur'an terletak pada amal perbuatannya, bukan pada unsur pokok yang membentuk dirinya yaitu jasad, hayat dan ruh.
Amal dalam pandangan Al-Qur'an itu mempunyai arti yang amat luas, yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di dunia ini dan bukan semata-mata kegiatan peribadatan formal (mahdhah) seperti yang diatur dalam kehidupan beragama, seperti shalat, zakat, puasa dan haji.
Amal dalam hubungan ini adalah merupakan wujud penjelmaan kesatuan diri (nafs); yang merupakan kesatuan jasad, hayat dan ruh yang menjelma dalam perbuatan nyata, yaitu perbuatan nyata dari manusia yang menjadi hamba Allah (‘abd Allah) yang bertugas membentuk kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh), khususnya dalam bidang pendidikan. Dimana menurut Abu Bakar Muhammad tugas manusia sebagai khalifah di bumi ini meliputi tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga dan dalam masyarakat. Tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri yang paling pokok adalah dalam menuntut ilmu pengetahuan dan menghiasi diri dengan akhlak yang muliah; tugas kekhalifahan dalam rumah tangga dengan cara membentuk keluarga bahagia, menyadari tugas dalam rumah tangga bagi suami isteri; dan tugas kekhalifahan dalam masyarakat yang pokok adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan-golongan yang lemah.
Pandangan tauhid Al-Qur'an dalam konsep antropologis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Musa Asy’arie adalah terletak dalam pandangan atas kesatuan manusia dalam diri yang disebut Al-Qur'an dengan kata nafs, kesatuan diri dari unsur-unsur jasad, hayat dan ruh. Kesatuan diri itu terjelma dalam amal perbuatan, yang merupakan wujud dari kesatuan kedudukan manusia sebagai hamba Allah yang bertugas menciptakan dan membuat seluruh ciptaan-Nya menuju penciptaan itu di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Dimana manifestasi amal perbuatan seorang hamba Allah adalah ketaatan dan kepatuhan yang ikhlas atas segala perintah Allah, kepada hukum-hukum Allah yang mengatur ciptaan-Nya, yang menjadi sunnah Allah dan ketulusannya beribadah kepada-Nya, yang secara formal diatur dalam kehidupan keberagamaan.
Sedangkan manifestasi amal perbuatan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi adalah ketekunannya mengembangkan konsep-konsep dalam realitas kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, dimana unsur yang paling penting dalam kebudayaan adalah pendidikan.
Jadi, hakikat manusia adalah amalnya, karyanya dan dalam karyanya terjelma nilai-nilai kemanusiaan. Manusia menampakkan dirinya secara nyata dalam karyanya, dalam wujud kebudayaan secara umum dan pendidikan secara khusus. Di mana kebudayaan merupakan penjelmaan kesatuan eksistensi diri manusia sebagai hamba Allah adalah karya nyata dari manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dalam karyanya, totalitas diri (jasad, hayat dan ruh) manusia menyatu secara nyata dan dinamis. Melalui karyanya, kualitas kemanusiaan akan dilihat oleh Allah dan utusan-Nya serta orang-orang yang beriman. Dan hanya melalui amal atau karya yang baik, manusia akan dapat menemui Tuhannya.
C. Analisa
Banyak pakar yang telah menghabiskan waktunya dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mencari, memikirkan dan memahami hakikat manusia. Dimana antara pakar yang satu dengan yang lainnya saling berbeda dalam berpendapat dan dalam memahami hakikat manusia, yang tentunya sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing.
Menurut Ali Yafie, manusia adalah makhluk yang tertinggi derajatnya yang diciptakan Tuhan (terbaik), makhluk yang terhormat atau termulia, makhluk individu dan sosial, makhluk bumi dan pengemban amanat. Kemudian beliau juga mengutip pendapat para pakar disiplin ilmu, misalnya: para ahli logika menyatakan bahwa manusia adalah hewan cerdas (hayawan nathiq) yang mampu berpikir, mampu merumuskan pikirannya secara lisan dan tulisan serta mampu mengkomunikasikan apa yang dipikirkannya; menurut ahli biologi, manusia adalah hewan menyusui (anthropomorphem); menurut ahli sosiologi, manusia adalah makhluk sosial yang berbudaya (al-insan madani bi al-thaba’i); para ahli ekonomi menyebut manusia sebagai makhluk yang takluk pada tata ekonomi dan bersifat ekonomis (homo economicus); dan ada yang menyebut manusia itu adalah makhluk pembuat perkakas (tool making animal). Hal ini senada dengan pendapat Syahminan Zaini, dan A. Malik Fadjar dan Abdul Ghafur, yang dalam uraian selanjutnya ia menerangkan bahwa manusia itu juga merupakan makhluk atau binatang yang dapat dididik dan harus dididik (homo educable, homo educantum), binatang yang bermasyarakat (zoon politicon). Ia menjelaskan bahwa manusia itu adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi, paling sempurna dan makhluk yang paling unik, berkemauan bebas, diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, bersifat hanif, dan sebagai khalifah di muka bumi ini serta sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa manusia itu berunsurkan jasmani dan rohani (jasad dan ruh), makhluk yang beragam, makhluk yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, makhluk yang utuh yang terdiri atas jasmani, akal dan rohani sebagai potensi pokok. Demikian juga menurut Oemar Muhammad al-Taumi al-Syaibany sebagaimana yang dikutip oleh Zakiyah Daradjat, bahwa manusia itu terdiri dari delapan prisip, yaitu: kepercayaan bahwa manusia itu makhluk yang termulia, kepercayaan akan kemuliaan manusia, hewan yang berpikir, manusia mempunyai tiga dimensi, yaitu badan, akal dan ruh; manusia dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan, mempunyai motivasi dan kebutuhan, adanya perbedaan perseorangan di antara manusia, dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai keluasan sifat dan selalu berubah. Dan masih banyak lagi pendapat para pakar tentang manusia.
D. Penutup
Hakikat manusia dalam pandangan para pakar sangat subyektif, berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.
Hakikat manusia dalam Al-Qur'an adalah amal perbuatannya, dimana sebagai khalifah Allah di muka bumi ia memerankan diri sebagai pencipta yaitu dengan menciptakan kebudayaan untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama. Amal perbuatan manusia merupakan wujud penjelmaan kesatuan diri (nafs) yang merupakan kesatuan jasad, hayat dan ruh. Kesatuan diri itu menjelma dalam perbuatan nyata, yaitu perbuatan nyata dari manusia yang menjadi hamba Allah (‘abd Allah) yang bertugas membentuk kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh), khususnya dalam bidang pendidikan.
Dalam pelaksanaan pendidikan, manusia harus diarahkan kepada pembentukan pribadi yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh.